Saturday 22 July 2017

TUGAS MAKALAH TENTANG KEBUDAYAAN YANG ADA DI SULAWESI TENGGARA

TUGAS MAKALAH

KEBUDAYAAN DI SULAWESI TENGGARA

logo-uho-normal.png


OLEH:
LAODE SUYADI SURYA ALAM


JURUSAN ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016


KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala rahmat dan berkatnya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas Ilmu Sosial Budaya.

Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca untuk perbaikan penulis dimasa yang akan datang. Semoga laporan ini
bermanfaat bagi semua pihak.

                                                                                                   Kendari,..oktober 2016


                                                                                                   Laode suyadi surya alam










BAB I
PENDAHULUAN
a.1 latar belakang
Sinonggi adalah makanan khas suku Tolaki dari Sulawesi Tenggara, Indonesia, yang terbuat dari pati sari sagu.[1] Suku Tolaki memiliki tradisi menyantap sinonggi bersama-sama yang disebut mosonggi. Bagi Suku Tolaki, sinonggi merupakan makanan pokok yang kini telah mengalami pergeseran makna dan bersaing dengan nasi.[2]
Sinonggi adalah makanan pokok Suku Tolaki yang terbuat dari pati sari sagu. Di Sulawesi Selatan, masakan yang serupa dikenal dengan nama kapurung dan di Kepulauan Maluku disebut papeda. Meski masakan-masakan tersebut memiliki kemiripan bahan, cara penyajiannya berbeda. Untuk sinonggi, tepung sagu yang sudah dimasak tidak dicampurkan dengan sayur, kuah ikan, sambal ("dabu-dabu"), atau bumbu lainnya, namun tergantung selera masing-masing. Bagi suku Tolaki, sinonggi dahulu merupakan makanan pokok, namun saat ini telah menjadi makanan sekunder pengganti beras pada masa paceklik.

Sejarah

Walaupun merupakan makanan khas Suku Tolaki, belum ada yang mengetahui sejak kapan Suku Tolaki mengonsumsi sinonggi. Namun, makanan ini sudah ada sejak ratusan tahun silam layaknya beras. Mitos Tolaki menyebutkan bahwa pohon sagu bahan baku Sinonggi tumbuh dengan sendirinya di perkampungan Kuko Hulu di Sungai Konaweha, yang kini bernama Latoma Tua. Dalam bahasa Tolaki, ia disebut "sowurere", yang artinya "suatu kampung yang ditumbuhi ribuan pohon sagu". Lokasinya persis di dekat Tongauna, Kecamatan Ulu Iwoi, Kabupaten Kolaka. Versi lain menyebutkan bahwa pohon sagu yang tumbuh di rawa-rawa tersebut, sebetulnya berasal dari Maluku.
Nama sinonggi diyakini budayawan lokal berasal dari kata posonggi.[1] Posonggi atau o songgi (bahasa Tolaki) merupakan alat mirip sumpit terbuat dari bambu yang dihaluskan dengan ukuran panjang kurang dari sepuluh sentimeter. Alat inilah yang digunakan untuk mengambil sinonggi dari tempat penyajian. Dengan cara digulung, sinonggi diletakkan ke piring yang telah diisi kuah sayur dan ikan serta bumbu lainnya. Gulungan sinonggi di piring kemudian dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam mulut menggunakan alat serupa yang berukuran lebih kecil atau dengan jari. Sinonggi biasanya tidak dikunyah, tetapi ditelan langsung.[2]
Dahulu orang tua menyimpan sinonggi dalam dulang yang terbuat dari kayu. Dulang dalam bahasa Tolaki adalah "odula". Seiring perubahan zaman, sinonggi mulai tidak disimpan dalam dulang kayu melainkan dalam baskom. Perubahan ini diyakini penikmat sinonggi telah mengurangi kelegitan rasanya yang khas. Begitu pula dengan penggunaan posonggi yang menghilang, saat ini orang lebih banyak langsung menggunakan tangan atau memakai sendok untuk mengkonsumsi sinonggi.

Sebelumnya kita telah mengenal Kebudayaan dari Provinsi Sulawesi Selatan, kali ini kita akan berkenalan dengan Kebudayaan dari Provinsi Sulawesi Tenggara yang juga satu daratan yaitu Pulau Sulawesi. Seperti biasa kita akan melihat rumah adat, pakaian adat, tari-tarian, senjata tradisional, suku, bahasa dan lagu daerah dari Provinsi Sulawesi Tenggara. Berikut uraiannya :

1. Rumah Adat
Salah satu contoh rumah adat Sulawesi Tenggara disebut Istana Sultan Buton. Istana Sultan Buton disebut juga Malige. Bangunan tersebut tidak memakai paku dan merupakan rumah panggung. Ia terdiri dari 3 lantai. Lantai pertama tempat kediaman raja dan permaisuri, lantai kedua untuk tempat tinggal dan lantai ketiga tempat wanita salat. Pada kiri kanan lanta dua ada ruangan tempat semacam menenun kain yang disebut Bate.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXT88DqlJ04NKg08kMJSRH1ZqobmFU4tV-QqkwNRr8akperNRqpF_8Gxy4jVyb9ClE8pZaQNx4HIAZNmLD3HjuzqvzL9xwUDjaLdG96pajtB_SJ1yjrUAAFm_2-_MkwgslFDrz0CGBHv4o/s1600/20100510-benuatada.jpg
Istana Sultan Buton
Sultan Buton adalah pilihan rakyat banyak. Sultan harus bersih dari cacat jasmani ataupun cacat rohani. Untuk menggantikan kedudukan Sultan, tidak selamanya dari keturunan Sultan yang berkuasa. Dapat pula dupilih dari adik atau kakak Sultan, bahkan dari orang lain yang sederajat.

2. Pakaian Adat

Prianya memakai pakaian adat berupa tutup kepala (destar), baju model jas tutup sarung sebatas dengkul dan celana panjang.
Sedangkan wanitanya memakai baju kebaya. Diatas kepalanya terdapat hiasan kembang dan hiasan lainnya berupa anting anting, kalung, dan gelang. Pakaian adat ini berasal dari Kendari.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgo3JRmrbgjlbhxHk6F6-gkzRGKsHjCsN8atri3cj5D51AJkZ0lCjcyIb9MdMjmyW6HC8UAJvDvkpCqO_CTaVUSCB9rLPRIbvgtQh00fq_nNMtZ6O-33CTPoNDeDCWQPnjwA-_8jt16OnTd/s1600/Pakaian-Adat-Sulawesi-Tenggara-Pakaian-Tradisional-Sulawesi-Tenggara.jpg
Pakaian Adat Sulawesi Tenggara
3. Tari tarian Daerah Sulawesi Tenggara
a. Tari Balumpa, merupakan tari selamat datang dalam menyambut tamu agung. Tari rakyat ini berasal dari Buton.
b. Tari Dinggu, melambangkan sifat kegotongroyongan dalam kerja bersama sewaktu menumbuk padi. Sentuhan alu pada lumbung merupakan irama tersendiri yang menyentuh hati.
c. Tari Molulo, adalah tarian yang indah danriang dari pergaulan muda mudi Sulawesi Tenggara.
d. Tari Motasu (berladang), Tari Motasu diangkat dari tradisi masyarakat Tolaki di Kabupaten Kolaka dan Kendari. Keseluruhannya menggambarkan ungkapan permohonan kepada tuhan agar dalam berladang dapat perlindungan dan kelak dikaruniai hasil yang melimpah.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhwv1echlTJJ7I1SD5AyG0O6FTnVLNtSp8PCU2naSzht7gt-ySSiwpUidAuh3_NNyFNtY-3VPXBWZWLt69zl3as1xoN9tMdxnTuK8ju0GfAbkZAkkS1e97Ildl3-fhLsQDDSaBDvhzbA2pw/s1600/mqdefault.jpg
Tari Balumpa

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhdCejLHMntD2za44DLwg9VyO6jZ8gcUker4fZLD7RXmmBt8g9Fk5yKam59YvtpcxIeecpCD_nIdHOqUXhfMPwic8wD2EmSlKYynoVPM_zCckpdjT7lwppZRM-_yVdbqlfF3p2pxYWjlMHl/s1600/sulawesi-tenggara-dinggu.jpg
Tari Dinggu
4. Senjata Tradisional

Keris adalah senjata tradisional rakyat Sulawesi Tenggara/ bentuknya berlekuk lekuk seperti keris pada umumnya. Istana dan banteng kerajaan Sultan Buton sangat terkenal dalam sejarah perlawanan bersenjata menentang Belanda. Keris dan pedang dipakai untuk perang jarak dekat, sedangkan tombak, lembing dan sumpitan untuk perang jarak jauh.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4CuiciRNKZ-XqZBw4wKooo8NBEVQ78cU73bTHdQUP_aVPTOWlWF2XtG2tSHr82bqH9emrXHPX2GeAF3Jm3zdAaBaSp-Phab5xSzjUUPfTvoPsBNcRI9LaDXxKGNw4rhoJOSm-H7io7rIG/s1600/keriss.jpg
Keris Sulawesi Tenggara
5. Suku  : Suku da marga yang terdapat didaerah Sulawesi Tenggara adalah : Walio,Tolaki, Muna, Buton, Moronene, Wowonii, Kulisusu, dan lain lain.

6. Bahasa Daerah : Tolaki,Buton, Muna, Laki dan lain lain.
          PROSES TERBENTUKNYA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
Kita mulai tahun 1938, ketika Afdeeling Buton and Laiwoi diubah menjadi Sulawesi Tenggara dengan ibukotanya Bau-Bau. Lahirnya UU No. 44/1950 tentang Pembentukan NIT, sekaligus membagi daerah bagian sebagai pengganti bekas Afdeeling Buton dan Laiwoi dan Onder Afdeeling Kolaka menjadi bagian dari Sulawesi Tenggara.
Pada awal kemerdekaan Sulawesi Tenggara masih dalam wilayah Propinsi Sulawesi (Groote Celebes) sebagai salah satu propinsi dari 8 (delapan) propinsi yang dibentuk berdasarkan sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, dengan ibukotanya Makassar yang dipimpin oleh seorang gubernur. Ditingkat residen masyarakat Sulawesi Selatan dan Tenggara mendesak pemerintah agar gabungan daerah Celebes Selatan dibubarkan. Oleh Gubernur Sulawesi mengeluarkan Peraturan   Pemerintah   No.  34/1952   tentang   Pembentukan  Daerah   Otonom setingkat Kabupaten terhadap ketujuh daerah administrasinya, yaitu : Makassar, Bonthain, Bone, Pare-Pare, Mandar, Luwu dan Sulawesi Tenggara.
Terbentuknya tujuh daerah otonom setingkat kabupaten yang tergabung dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan Tenggara (Sulselra),                                       maka status Sulawesi Tenggara telah  menjadi  daerah tingkat II  yang berkedudukan di Bau-Bau.
Wilayah   administrasi  Kabupaten   Sulawesi   Tenggara   terbagi   dalam   4 kewedanaan, yaitu :
1.    Kewedanaan Buton ibukotanya Bau-Bau, terdiri 20 distrik dan 390 kampung.
2.    Kewedanaan Muna ibukotanya Raha terdiri 4 distrik dan 390 kampung.
3.    Kewedanaan Kendari ibukotanya Kendari terdiri 19 distrik dan 315 kampung.
4.    Kewedanaan Kolaka ibukotanya Kolaka terdiri 2 distrik dan 30 kampung. (Monografi, 1997 : 104-105)
Sejak dibentuknya Kabupaten Sulawesi Tenggara telah terjadi konflik antara etnik wilayah daratan dan etnik wilayah kepulauan. Etnik daratan merasa bahwa Kabupaten Sulawesi Tenggara daratan layak dijadikan satu daerah otonom, sama dengan wilayah kepulauan. Hal ini disebabkan oleh adanya kesulitan dalam hubungan transportasi antara wilayah daratan dan kepulauan sementara pemerintahan berada di wilayah kepulauan yaitu Bau-Bau. Di samping itu juga disebabkan oleh elit tradisional yang merasa tersaingi dan tidak mendapatkan posisi jabatan secara proporsional, sehingga menimbulkan kekecewaan para elit politik tradisional di wilayah daratan dan mendorong mereka untuk berjuang membentuk Kabupaten Sulawesi Timur.
Dengan dipelopori oleh satu panitia yang berkedudukan di Kendari, yaitu "Panitia Penuntut Kabupaten Sulawesi Timur" pada tanggal 24 Agustus 1951, agar kawasan daratan Kolaka, Kendari, Poleang plus Rumbia dijadikan daerah otonom setingkat kabupaten dari Kabupaten Sulawesi Tenggara dengan berbagai alasan : (1) keadaan geografis yang terdiri dari kawasan daratan dan kepulauan yang menampakkan adanya pemisahan kesatuan kedua kawasan tersebut, (2) potensi yang menunjukkan kemungkinan masing-masing kawasan untuk membiayai rumah tangganya sendiri; (3) keadaan politik psikologis, menunjukkan adanya keinginan yang kuat untuk masing-masing memperoleh hak otonom; (4) sidang DPRS pada tanggal 23 Januari 1954 di Kendari, kemungkinan daerah Sulawesi Tenggara dibagi atas dua kabupaten (Thalha, 1082 : 269).
Pada sidang DPRS Sulawesi Tenggara tanggal 27 Juli 1954 di Raha, atas usul S. Joesoef dan kawan-kawannya akhirnya sidang menyetujui pembagian Kabupaten Sulawesi Tenggara, menjadi dua daerah otonom setingkat kabupaten masing-masing diberi nama :
a.    Kabupaten   Sulawesi   Timur  dengan   ibukotanya  Kendari,  kabupaten  ini meliputi wilayah kewedanaan Kendari dan Kolaka, kemudian ditambah dengan distrik Poleang Bugis, Poleang Moronene dan Rumbia.
b.    Kabupaten  Sulawesi  Tenggara dengan  ibukotanya Bau-Bau,  wilayahnya meliputi kewedanan Buton dan Kewedanan Muna (Thalha, 1982: 23 ).
Dalam merealisasikan hasil keputusan Sidang DPRDS tentang pemekaran Kabupaten Daerah Sulawesi Tenggara, maka pada bulan Oktober 1955 telah mengirim delegasi ke pemerintah pusat di Jakarta yang terdiri atas : (1) Kepala Daerah Sulawesi Tenggara Abdul Madjid Pattaropeara, (2) Ketua DPRDS Sulawesi Tenggara, (3) Anggota DPD Sulawesi Tenggara La Ode Rasjid.
Sesuai dengan laporan delegasi kepada DPRDS Sulawesi Tenggara pada tanggal 4 Februari 1956, pemerintah pusat menyetujui pemekaran Kabupaten Sulawesi Tenggara, namun pelaksanaannya menunggu rancangan undang-undang pokok pemerintah daerah untuk disetujui oleh parlemen. Dengan keberhasilan para delegasi, maka rakyat Sulawesi Tenggara khususnya rakyat di wilayah daratan menyambut gembira rencana ini, dimana hasrat dan keinginan masyarakat terhadap pemekaran Kabupaten Sulawesi Timur ditandai dengan pernyataan rakyat di kawasan daratan yaitu di Kecamatan Wawotobi, rakyat di Kecamatan Sulewatu (Mowewe), rakyat di Kecamatan Moronene (Poleang Bugis dan Poleang Moronene), Persatuan Masyarakat Indonesia Sulawesi Timur di Makassar dan dari Panitia Pelaksana Kabupaten Sulawesi Timur.
Semula rakyat Kolaka solider dan sepaham dengan Kendari tanpa diselingi pertentangan mengenai penempatan ibukota daerah Sulawesi Timur, tetapi setelah perkembangan penuntutan berjalan, timbullah gejala-gejala yang membawa kesan bahwa hubungan antara daerah itu tidak dapat dipertahankan lagi.
Dalam suatu rapat di Kolaka pada tanggal 26 Mei 1957 antara utusan Panitia Pelaksana Persiapan Kabupaten Sulawesi Timur dengan wakil-wakil rakyat Kolaka tidak menyetujui kehendak Panitia Pelaksana Persiapan Kabupaten Sulawesi Timur dan pihak Kolaka menghendaki supaya keputusan panitia itu ditarik kembali, akan tetapi Kendari tetap mempertahankan keputusan Panitia Pelaksana Persiapan Kabupaten Sulawesi Tenggara, sehingga rapat yang diadakan itu tidak dapat membawa keputusan yang diinginkan. Akibatnya, pada tanggal 17 Juni 1957 mengeluarkan pernyataan dengan tegas tidak menyetujui penempatan ibukota Kabupaten Sulawesi Timur di Kendari dan mendesak pemerintah pusat supaya penempatan Kabupaten Sulawesi Timur berkedudukan di Kolaka. Dengan munculnya keinginan untuk membentuk kabupaten tersendiri, sebagai salah satu puncak persaingan di antara etnik daratan dan kepulauan yang menyebabkan gagalnya pembentukan Kabupaten Sulawesi Timur.
Di Kewedanan Muna, dengan dipelopori oleh satu panitia penuntut Kabupaten Muna di Makassar maka pada tanggal 5 Agustus 1956 tercetus pula suatu keinginan yang menghendaki supaya Muna dijadikan satu otonomi setingkat kabupaten, dan pada tanggal 2 September 1956 dengan resolusi dari Panitia Penuntut Kabupaten Muna bersama-sama dengan pembentukan kabupaten-kabupaten lainnya di Propinsi Sulawesi Tenggara.
Gelora tuntutan rakyat Muna, telah tampak ketika kunjungan residen koordinator Sulawesi Tenggara pada tanggal 13 September 1957 dimana beberapa slogan yang secara politis menghendaki otonomi setingkat kabupaten, di samping itu dengan keluarnya Surat Kepala Daeah Sulawesi Tenggara pada tanggal 8 November 1957 No. 3/4/17 yang ditujukan kepada Gubernur Sulawesi, selanjutnya dalam surat kawat dari Kepala Daerah Sulawesi diharapkan perhatian beliau jangan sampai kelak kekacauan politik mengakibatkan kekacauan keamanan.
Demikian pula kewedanan Buton juga timbul aspirasi yang sama dengan daerah lainnya (Kendari, Kolaka dan Muna), dengan pertimbangan bahwa Kewedanan Buton sebagai wilayah Swapraja memiliki sumber keuangan yang lebih baik dibandingkan dengan Swapraja lainnya di Sulawesi Tenggara  dan wilayahnya masih terhindar dari gangguan keamanan.
Adanya keinginan sebagian rakyat Kewedanan Buton menghendaki tetapnya Swapraja Buton dalam bentuk daerah istimewa didasari bahwa pemerintahan swaparaja Buton telah mengalami demokratis pemerintahan sejak pada tanggal 15 April 1951, dengan dibubarkan anggota-anggota swaparaja dan dibentuk Dewan Pemerintahan Daerah yang mencerminkan perimbangan partai partai politik di daerah ini.
Dalam mempersiapkan pembentukan empat kabupaten sebagai daerah otonom, pada tanggal 20-22 Juli 1959 diadakanlah musyawarah antara kewedanan di Kabupaten Sulawesi Tenggara yang berlangsung di Kewedanan Kendari, dan dihadiri oleh utusan dari Kewedanan Buton, Muna, Kendari dan Kolaka masing-masing berjumlah 15 orang dan 5 orang dari staf Kantor Bupati Kepala Daerah Sulawesi Tenggara. Dalam rapat itu hadir pula Kepala Pemerintahan Negeri Buton H. Abdul Malik, Kepala Pemerintahan Negeri Muna diwakili Asisten Residen Wedanan A.R. Muntu, Kepala Pemerintahan Negara Kendari diwakili oleh Anas Bunggasi dan Kepala Pemerintahan Negeri Kolaka Abdul Wahab dan wakil-wakil dari setiap swapraja sebagai peninjau dalam musyawarah (Monografi, 1997:99).
Hasil keputusan rakyat Sulawesi Tenggara terlaksana setelah  ditetapkannya Undang - Undang No.29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Empat Daerah Otonom Tingkat II sebagai realisasi pemekaran Kabupaten Sulawesi Tenggara, dan Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tentang Pengangkatan Kepala Daerah Tingkat II, masing-masing adalah :
1.    Jacob Silondae sebagai Kepala Daerah Tingkat II Kolaka dilantik pada tanggal 2 Februari 1960.
2.    La Ode Abdul Halim sebagai  Kepala Daerah Tingkat  II  Buton dilantik pada tanggal 1 Maret 1960.
3.    La Ode Abdul Koedoes sebagai Kepala Daerah Tigkat II Muna dilantik tanggal 1 Maret 1960.
4.    Drs. Abdullah Silondae sebagai Kepala Daerah Tingkat II Kendari dilantik pada tanggal 3 Maret 1960 (Monografi, 1997 : 130).
Dengan terbentuknya empat daerah tingkat II di Sulawesi Tenggara maka residen koordinator Sulawesi tidak lagi mengkoordinir satu kabupaten dalam  satu trotoar, tetapi telah mengkoordinir 4 daerah tingkat II masing-masing : Buton, Muna, Kendari dan Kolaka. Bertambahnya jumlah Kabupaten se-Sulawesi Tenggara sehingga mendorong terbentuknya keresiden Sulawesi Tenggara yang berkedudukan di Kendari.
Pada tahun 1958, para tokoh-tokoh masyarakat yang tergabung dalam 4 Kabupaten Dati II Sulawesi Tenggara melaksanakan musyawarah dalam hal untuk memperjuangkan pembentukan Propinsi Sulawesi Tenggara dengan peserta peserta musyawarah antara lain yaitu Sultan Buton, La Ode Manarfa, La Ode Abdul Kasim, Bunggasi, Djuhaepa Balaka, Abdul Rahman, II Surabaya,  Raja Muna, La Ode Rianse, La Ode Ado, La Ode Tobulu, Ch Pingak dan Muhidin. Dalam kepulusan musyawarah tersebut adalah : (1) seluruh peserta sepakat dibentuknya Propinsi Sulawesi Tenggara yang meliputi Buton, Muna, Kolaka dan Kendari serta mendesak agar pemerintah pusat segera merealisasikan pembentukan Propinsi Sulawesi Tenggara lepas dari Propinsi Sulselra,(2) menetapkan calon ibukota Propinsi Sultra, pada saat diskusi berlangsung alot karena utusan Buton dan Muna mengusulkan Kota Bau-Bau menjadi ibukota propinsi, sedangkan utusan Kendari dan Kolaka mengusulkan Kota Kendari sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara, dan akhirnya mereka sepakat/menyetujui Kota Kendari ,ketika sebagian tokoh Muna mendukung kota Kendari sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara.
Pada sidang umum MPRS, bulan Mei tahun 1963 H. Jacob Silondae dan Eddy Sabbara memperjuangkan lagi realisasi TAP MPRS tahun 1960, bahwa pembentukan 4 propinsi di Sulawesi khususnya di Sulawesi Tenggara dilaksanakan pada akhir tahun 1963 atau selambat-lambatnya tahun 1964. Dimana DPR GR RJ akan melahirkan UU Dati I Sulawesi Tenggara akan tetapi sampai tahun 1963 belum juga lahir UU. Yang dibentuk oleh DPR GR RI, maka oleh pemerintah dibuatlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 34 tahun 1963 tentang pembentukan Propinsi Sulawesi Tenggara yang harus dilaksanakan pada awal tahun 1964.
Ketika Yacob Silondae melaporkan kepada gubernur Sulselra H.A Rivai akan adanya ketetapan MPRS tentang Pembentukan Kabupaten Propinsi Sulawesi Tenggara beliau menyetujui pelaksanaan realisasi  tersebut.
Dalam resolusi musyawarah rakyat Sulawesi Tenggara di Kendari kepada DPR GR Sulawesi Selatan dan Tenggara dimana dalam sidaug paripurna DPR GR tersebut menyetujui sccara aklamasi Pembentukan Propinsi Dati I Sulawesi Tenggara, dan soal ibu kota pun disetujui Kendari sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara. Sehingga pada tanggal 27 April 1964, Gubernur Sulawesi Selatan/Tenggara Kol. H. A. Rivai menyerahkan pimpinan pemerintahan Propinsi Sulawesi Tenggara kepada Bapak J. Wayong sebagai Pejabat Gubernur Pertama di Propinsi Sulawesi Tenggara.
                 Sebagaimana dijelaskan oleh Yusuf Djalil bahwa dalam proses penetapan Kendari sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara (tidak terlepas dari peran para delegasi, tokoh-tokoh masyarakat, pemuda dan mahasiswa dalam memperjuangkan Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi daerah yang berdiri sendiri terlepas dan wilayah Sulselra oleh  para  delegasi  atau  utusun-utusan daerah yang  masih menjabat sebagai anggota DPRD di propinsi Sulselra serta dukungan masyarakat yang masih tergabung dalam Sulselra sepakat mendukung penuh otonomi berdirinya Propinsi Sulawesi Tenggara dimana terlebih dahulu dikenal sistem pemerintahan sistem swapraja pada zaman penjajah yang ibukotanya berkedudukan di Bau-Bau. Namun dalam perkembangannya Sulawesi Tenggara mempunyai status sebagai propinsi maka ditetapkanlah Kendari sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara yang dikepalai oleh seorang gubernur .
Dari penjelasan di atas bahwa dalam proses penetapan Kendari sebagai Ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara tanpa adanya diskriminasi dari manapun baik ras, suku dan agama dimana masyarakat Sulawesi Tenggara  bahu membahu dalam mendukung berdirinya Propinsi Sulawesi Tenggara.
Dengan penetapan Propinsi Sulawesi Tenggara sebagai propinsi yang berdiri sendiri dengan wilayah pemerintahan meliputi empat daerah tingkat II yakni Buton, Kendari, Kolaka dan Muna, dari keempat wilayah tersebut terdapat pula wilayah kerja pembantu bupati yaitu :
1.    Kabupaten/Daerah Tk. I Buton terdiri dari empat Pembantu Bupati, yaitu :
a.    Pembantu Bupati Buton di Wangi-Wangi meliputi wilayah Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Kecamatan Binongko.
b.    Pembantu  Bupati   Buton  di   Kasipute  meliputi  wilayah  Poleang dan Rumbia.
c.     Pembantu  Bupati Buton di Mawasangka meliputi  wilayah Kecamatan Kabena, Mawasangka, dan Gu.
d.    Pembantu Bupati  Buton di  Pasar Wajo meliputi Kecamatan Wolio, Kapuntori, Pasar Wajo, Sampolawa dan Batauga.
2.     Kabupaten/Daerah Tingkat II Muna terdiri dari dua Pembantu Bupati, yaitu :
a.    Pembantu Bupati Muna di Lambu Balano meliputi wilayah Kecamatan Katobu, Tongkuno, Kabawo dan Tikep.
b.    Pembantu   Bupati   Muna   di   Pure   meliputi   wilayah   Kulisusu   dan Wakorumba.
3.     Kabupaten/Daerah Tingkat II Kendari terdiri dari tiga Pembantu Bupati, yaitu:
a.    Pembantu Bupati Kendari di Tinobu meliputi wilayah Kecamatan Asera, Lasolo dan Wawonii.
b.    Pembantu Bupati Kendari di Wawotobi meliputi wilayah Kecamatan Lambuya, Wawotobi dan Unaaha.
c.     Pembantu Bupati Kendari di Punggaluku meliputi wilayah Kecamatan Lainea, Tinanggea, Moramo dan Ranomeeto.
4.     Kabupaten / Daerah Tingkat II Kolaka terdiri dari dua Pembantu Bupati, yaitu :
a.    Pembantu   Bupati   Kolaka   di   Pomalaa   meliputi   wilayah   Kecamatan Tirawuta, Mowewe, Wundulako dan Kota Kolaka.
b.    Pembantu Bupati Kolaka di Lasusua meliputi wilayah Kecamatan Lasusua dan Pakue (Monografi, 1977: 20).
Penetapan wilayah pembantu bupati tersebut ditetapkan dengan Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 17 Januari 1977 No. Pern 7/1/14, sebagai salah satu pemekaran atau perluasan wilayah kabupaten yang berada di wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara.
Berita pertama tentang Kota Kendari ditulis oleh J.N. Vosmaers (orang Belanda) yang mengunjungi Teluk Kendari pertama kalinya pada tangga 9 Mei 1831, pesisir Teluk Kendari dihuni oleh orang Bajo dan orang Bugis. Vosmaers kemudian mendirikan loji (kantor dagang) di suatu bukit di tepi Teluk Kendari yang kemudian disebut Bukit Vosmaers. Vosmaers menggambarkan bahwa Teluk Kendari itu merupakan suatu pelabuhan alam yang tenang dan indah, di depan teluk merupakan jalur pelayaran dan perdagangan yang ramai menghubungkan Makassar dan bagian barat Ternate di bagian timur yang sejak dahulu menjadi pusat-pusat perdagangan di Nusantara.
Ditinjau dari segi letak geografisnya posisi Kendari di pertengahan sehingga dapat dikategorikan sebagai jalur yang dapat dilalui dari semua daerah yang ada di Sulawesi Tenggara baik melalui jalur darat maupun jalur laut  sehingga diposisikannya Kota Kendari sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara dan kebijakan-kebijakan gubernur yang berdomisili di Ibukota Sulawesi Tenggara dapat secara cepat menjangkau daerah-daerah lain yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara.
Dengan demikian bahwa terbentuknya Teluk Kendari sebagai salah satu jalur perdagangan yang didorong oleh pelabuhan alami yang indah dan letaknya yang strategis maka Kota Kendari tidak hanya menjadi kota pelabuhan dan perdagangan tetapi berkembang pula sebagai kota pemerintahan sehingga menjadikan Kendari sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara dimana pemerintah daerah memberikan peranan dalam membangun dan menata Kota Kendari agar dapat menunjang kemajuan dan perkembangan pembangunan yang ada di Sulawesi Tenggara dan dapat setara dengan daerah-daerah lain yang telah mengalami kemajuan terhadap pembangunan.
Kendari dan mulai terbentukn ya menjadi Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 27 September 1964 sampai kini tahun 2007 telah mengalami perkembangan baik dalam bidang ekonomi, politik dan sosial budaya serta dalam sektor perikanan, pertanian dan pariwisata yang dapat menunjang dalam pembangunan yang ada di wilayah Kota Kendari maupun daerah-daerah yang ada di dalam wilayah Sulawesi Tenggara telah mengalami kemajuan utamanya pembangunan yang ada di Kota Kendari terlihat dengan adanya pembangunan gedung-gedung, pertokoan, pasar sentral. Gubernur Ali Mazi, dalam tiga tahun memimpin Sulawesi Tenggara, menoreh sebuah lompatan peradaban secara spektakuler yang belum pernah ada sebelumnya di Sulawesi Tenggara antara lain pembangunan Bandara bertaraf Internasional, Tugu Persatuan setinggi Monas (Monasnya Indonesia Timur) menyebabkan investor dalam dan luar negeri mulai melirik serius kota Kendari.  



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Bagi masyarakat yang telah lama tinggal di Sulawesi Tenggara, siapa yang tidak kenal dengan Sinonggi?. Pastinya hampir warga sultra sudah mengetahui apa yang dimaksud dengan sinonggi. Bagi yang belum tahu, mari simak artikel yang dikutip dari beberapa sumber.

Sinonggi adalah makanan khas suku Tolaki dari Sulawesi Tenggara, Indonesia, yang terbuat dari pati sari sagu. Suku Tolaki memiliki tradisi menyantap sinonggi bersama-sama yang disebut mosonggi. Bagi Suku Tolaki, sinonggi merupakan makanan pokok yang kini telah mengalami pergeseran makna dan bersaing dengan nasi.

Bagi masyarakat yang telah lama tinggal di Sulawesi Tenggara, siapa yang tidak kenal dengan Sinonggi?. Pastinya hampir warga sultra sudah mengetahui apa yang dimaksud dengan sinonggi. Bagi yang belum tahu, mari simak artikel yang dikutip dari beberapa sumber.












BAB III
PEMBAHASAN
Mosonggi atau Sinonggi merupakan makanan khas dari Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Makanan ini berbahan dasar sagu yang diolah dengan seduhan air panas, dan juga mirip dengan Kapurung, makanan khas dari daerah Luwu, Sulawesi Selatan.

Perbedaan kedua makanan khas ini terletak pada cara penyajiannya. Pada Kapurung, sagu yang sudah matang dibuat bulat lalu dicampur bersama kuah dengan bahan pelengkap lainnya seperti sayur kangkung dan ikan sarden atau udang. Sementara itu, Sinonggi disajikan dengan cara sagu yang sudah dimasak ditempatkan secara terpisah.

Sagu tersebut baru dibuat bulat pada saat akan disantap lalu disiram dengan kuah sayur-sayuran ditambah dengan kuah ikan putih atau ikan kerapu. Adapun isi sayuran pada Sinonggi adalah sayur bayam, kangkung, kacang panjang, dan terong kecil.

Sinonggi pada hakekatnya merupakan makanan sehari-hari suku Tolaki yang sebagian besar mendiami wilayah Kabupaten Kendari dan Konawe. Kata Sinonggi diambil dari bahasa suku tersebut yakni posonggi. Posonggi adalah sebuah alat yang menyerupai sumpit dan terbuat dari bambu dengan ukuran panjang sekitar 20 cm.

Alat ini digunakan untuk menyantap Sinonggi dengan cara menggulung tepung sagu yang sudah matang. Seiring perkembangan zaman, sumpit tidak lagi digunakan untuk menyantap makanan ini, melainkan menggunakan tangan langsung atau memakai sendok.

Menurut cerita, Sinonggi menjadi makanan khas dari Kota Kendari bermula ketika ada seorang warga dari suku Tolaki bernama Sri merantau ke Kota Kendari dan membuka usaha warung makan dengan menu Sinonggi. Ia memilih menu ini karena selain belum ada pedagang makanan yang menjualnya, ia juga ingin memperkenalkan makanan khas daerahnya.

Alhasil, menu Sinonggi yang disajikannya ternyata digemari oleh semua golongan usia maupun golongan sosial. Selain itu, para pembeli di warungnya bukan hanya warga asli Tolaki, tetapi juga warga pendatang yang tinggal di Kota Kendari.

Hingga saat ini, Sinonggi telah merambah ke hotel-hotel sebagai menu istimewa dan menjadi salah satu menu dalam perjamuan tamu-tamu pemerintah setempat. Di Kota Kendari sendiri, sudah ada puluhan warung makan yang menyajikan makanan khas Tolaki ini.

Untuk pasokan bahan bakunya, para pedagang tidak perlu bersusah-susah ke daerah pedalaman mencari tepung sagu karena sudah banyak dijual di pasar-pasar tradisional dengan harga terjangkau.

Selain memiliki cita rasa yang lezat, Sinonggi termasuk makanan yang sehat dan menyegarkan. Sagu sebagai bahan baku utama dikenal memiliki kandungan karbohidrat sekitar 85,6%, serat 5% dan untuk 100 gr sagu kering setara dengan 355 kalori.
Karbohidrat juga mengandung polimer alami yaitu semacam zat yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia seperti memperlambat peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga aman dikonsumsi oleh penderita diabetes melitus.

Selain itu, serat pada sagu juga mengandung zat yang berfungsi sebagai prebiotik, meningkatkan kekebalan tubuh, serta mengurangi resiko terkena kanker usus dan paru-paru. Serat tersebut juga berfungsi untuk mengurangi kegemukan.

Oleh karena itu, Sinonggi yang berbahan dasar sagu ini cocok dikonsumsi bagi Anda yang sedang diet. Selain mengenyangkan, makanan ini tidak menyebabkan berat badan Anda naik. Di sisi lain, sagu memang dikenal memiliki kandungan gizi yang sangat rendah. Namun jika diolah dan dikombinasikan dengan bahan-bahan yang kaya protein dan sayur-mayur seperti halnya Sinonggi, maka sagu akan menjadi makanan yang sehat dan bergizi.

Keistimewaan lain dari Sinonggi ada pada cara penyajiannya. Bahan utama dan bahan-bahan pelengkap lainnya tidak dicampur menjadi satu sehingga dapat diracik sendiri sesuai dengan selera penikmatnya. Meracik Sinonggi merupakan suatu keasyikan tersendiri, terutama bagi Anda yang belum pernah mencicipinya.
Sinonggi akan lebih lezat disantap jika masih dalam keadaan panas. Bagi Anda yang menyukai sensasi pedas dapat menambahkan sambal yang sudah disediakan. Sambal khusus untuk Sinonggi ini terdiri dari dua pilihan yaitu sambal terasi tumis dan sambal mentah. Akan terasa lebih nikmat lagi jika makanan sagu ini ditambahkan daun kemangi dan perasan air jeruk purut.
Warung makan yang menyajikan menu Sinonggi tidak sulit ditemukan di Kota Kendari. Beberapa warung makan yang cukup terkenal di kota ini di antaranya berada di Jalan Jenderal A. Yani dan di Jalan Antero Hamra yang dulunya bernama Jalan Kembar Kali Kadia.
Sinonggi adalah makanan khas suku Tolaki dari Sulawesi Tenggara, Indonesia, yang terbuat dari pati sari sagu. Suku Tolaki memiliki tradisi menyantap sinonggi bersama-sama yang disebut mosonggi. Bagi Suku Tolaki, sinonggi merupakan makanan pokok yang kini telah mengalami pergeseran makna dan bersaing dengan nasi.
Sinonggi adalah makanan pokok Suku Tolaki yang terbuat dari pati sari sagu. Di Sulawesi Selatan, masakan yang serupa dikenal dengan nama kapurung dan di Kepulauan Maluku disebut papeda. Meski masakan-masakan tersebut memiliki kemiripan bahan, cara penyajiannya berbeda. Untuk sinonggi, tepung sagu yang sudah dimasak tidak dicampurkan dengan sayur, kuah ikan, sambal ("dabu-dabu"), atau bumbu lainnya, namun tergantung selera masing-masing. Bagi suku Tolaki, sinonggi dahulu merupakan makanan pokok, namun saat ini telah menjadi makanan sekunder pengganti beras pada masa paceklik.
Sejarah Sinonggi
Walaupun merupakan makanan khas Suku Tolaki, belum ada yang mengetahui sejak kapan Suku Tolaki mengonsumsi sinonggi. Namun, makanan ini sudah ada sejak ratusan tahun silam layaknya beras. Mitos Tolaki menyebutkan bahwa pohon sagu bahan baku Sinonggi tumbuh dengan sendirinya di perkampungan Kuko Hulu di Sungai Konaweha, yang kini bernama Latoma Tua. Dalam bahasa Tolaki, ia disebut "sowurere", yang artinya "suatu kampung yang ditumbuhi ribuan pohon sagu". Lokasinya persis di dekat Tongauna, Kecamatan Ulu Iwoi, Kabupaten Kolaka. Versi lain menyebutkan bahwa pohon sagu yang tumbuh di rawa-rawa tersebut, sebetulnya berasal dari Maluku.
Nama sinonggi diyakini budayawan lokal berasal dari kata posonggi.Posonggi atau o songgi (bahasa Tolaki) merupakan alat mirip sumpit terbuat dari bambu yang dihaluskan dengan ukuran panjang kurang dari sepuluh sentimeter. Alat inilah yang digunakan untuk mengambil sinonggi dari tempat penyajian. Dengan cara digulung, sinonggi diletakkan ke piring yang telah diisi kuah sayur dan ikan serta bumbu lainnya. Gulungan sinonggi di piring kemudian dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam mulut menggunakan alat serupa yang berukuran lebih kecil atau dengan jari. Sinonggi biasanya tidak dikunyah, tetapi ditelan langsung.
Dahulu orang tua menyimpan sinonggi dalam dulang yang terbuat dari kayu. Dulang dalam bahasa Tolaki adalah "odula". Seiring perubahan zaman, sinonggi mulai tidak disimpan dalam dulang kayu melainkan dalam baskom. Perubahan ini diyakini penikmat sinonggi telah mengurangi kelegitan rasanya yang khas. Begitu pula dengan penggunaan posonggi yang menghilang, saat ini orang lebih banyak langsung menggunakan tangan atau memakai sendok untuk mengkonsumsi sinonggi. (wikipedia)

Cara Penyajian
Sebelum dimasak, pati sagu direndam di dalam baskom, atau sejenisnya, dengan menggunakan air dingin selama satu malam. Biarkan hingga mengendap. Kemudian air dibuang. Ketika akan diolah menjadi makanan, sagu dicairkan dengan air dingin secukupnya. Lalu, siramkan air panas (sampai mendidih) sedikit demi sedikit sambil sagu diaduk-aduk hingga mengental. Orang bilang, ia menyerupai lem.
Sebaiknya, sebelum sagu diolah menjadi makanan siap saji, sayur, kuah ikan, serta sambal sudah disiapkan. Jadi bisa langsung dimakan pada saat sinonggi masih panas. Sayur dan sambal juga akan lebih nikmat jika ditambah dengan daun kemangi dan jeruk purut. Di Kendari, jeruk purut dikenal dengan nama jeruk Tolaki.
Cara Makan
Cara makan Sinonggi ini adalah pertama-tama air kuah, bisa air kuah sayur yang sudah terpisah tadi atau bisa juga air kuah ikan atau daging/ayam yang dimasak tawaoloho, atau campuran keduanya sesuai selera diambil secukupnya dipiring kemudian ditambahkan perasan jeruk purut (bahasa lokal: jeruk Tolaki), lalu Sinonggi atau sagu yang telah kental tadi diambil dengan cara digulung memakai posonggi (sumpit) dimasukkan kedalam kuah tadi kemudian dicampur dengan sayur dan lauk ikan, daging/ayam serta tentu tidak ketinggalan sambal terasi plus mangga mudanya.
Kandungan Serta Manfaat Sinonggi
Sinonggi juga memiliki kandungan yang sangat bermanfaat bagi kesehatan.Sinonggi termasuk makanan yang menyegarkan dan sehat. Selain sayuran dan lauknya dimasak dengan bumbu yang tidak terlalu banyak (masak bening), menurut penelitian litbang deptan Sagu sebagai bahan baku utama dikenal memiliki kandungan karbohidrat sekitar 85,6%, serat 5% dan untuk 100 gr sagu kering setara dengan 355 kalori. Selain mengandung karbohidrat juga mengandung polimer alami yaitu semacam zat yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia seperti memperlambat peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga aman dikonsumsi oleh penderita diabetes melitus. Selain itu, serat pada sagu juga mengandung zat yang berfungsi sebagai probiotik, meningkatkan kekebalan tubuh, serta mengurangi resiko terkena kanker usus dan paru-paru.
Masonggi lebih enak jika disajikan dengan pelengkap makanan seperti ikan, sayur bening, sayur santan atau makanan pilihan lainnya. Tergantung selera. Biasanya lebih terasa nikmatnya jika disajikan bareng-bareng teman, keluarga bhkan sinonggi menjadi menu wajib ibu-ibu arisan.Sinonggi, makanan khas suku Tolaki ini tidak hanya khusus suku Tolaki, tapi juga sudah banyak digemari oleh masyarakat lain yang ada di Sulawesi Tenggara, baik anak-anak, remaja dan orang dewasa. Bahkan kini sudah menjadi pengganti makan siang beberapa warga kota Kendari.
Saat ini, Sinonggi telah masuk ke hotel-hotel sebagai menu khas Sulawesi Tenggara sebagai salah satu menu dalam perjamuan tamu-tamu pemerintah setempat. Di Kota Kendari, kini warung atau restoran yang menyajikan makanan khas suku tolaki ini sudah banyak, dan bahan bakunya tersedia di pasar tradisional. 
Sinonggi adalah makanan pokok Suku Tolaki yang terbuat dari pati sari sagu. Di Sulawesi Selatan, masakan yang serupa dikenal dengan nama kapurung dan di Kepulauan Maluku disebut papeda. Meski masakan-masakan tersebut memiliki kemiripan bahan, cara penyajiannya berbeda. Untuk sinonggi, tepung sagu yang sudah dimasak tidak dicampurkan dengan sayur, kuah ikan, sambal ("dabu-dabu"), atau bumbu lainnya, namun tergantung selera masing-masing. Bagi suku Tolaki, sinonggi dahulu merupakan makanan pokok, namun saat ini telah menjadi makanan sekunder pengganti beras pada masa paceklik.
Sejarah Sinonggi
Walaupun merupakan makanan khas Suku Tolaki, belum ada yang mengetahui sejak kapan Suku Tolaki mengonsumsi sinonggi. Namun, makanan ini sudah ada sejak ratusan tahun silam layaknya beras. Mitos Tolaki menyebutkan bahwa pohon sagu bahan baku Sinonggi tumbuh dengan sendirinya di perkampungan Kuko Hulu di Sungai Konaweha, yang kini bernama Latoma Tua. Dalam bahasa Tolaki, ia disebut "sowurere", yang artinya "suatu kampung yang ditumbuhi ribuan pohon sagu". Lokasinya persis di dekat Tongauna, Kecamatan Ulu Iwoi, Kabupaten Kolaka. Versi lain menyebutkan bahwa pohon sagu yang tumbuh di rawa-rawa tersebut, sebetulnya berasal dari Maluku.
Nama sinonggi diyakini budayawan lokal berasal dari kata posonggi.Posonggi atau o songgi (bahasa Tolaki) merupakan alat mirip sumpit terbuat dari bambu yang dihaluskan dengan ukuran panjang kurang dari sepuluh sentimeter. Alat inilah yang digunakan untuk mengambil sinonggi dari tempat penyajian. Dengan cara digulung, sinonggi diletakkan ke piring yang telah diisi kuah sayur dan ikan serta bumbu lainnya. Gulungan sinonggi di piring kemudian dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam mulut menggunakan alat serupa yang berukuran lebih kecil atau dengan jari. Sinonggi biasanya tidak dikunyah, tetapi ditelan langsung.
Dahulu orang tua menyimpan sinonggi dalam dulang yang terbuat dari kayu. Dulang dalam bahasa Tolaki adalah "odula". Seiring perubahan zaman, sinonggi mulai tidak disimpan dalam dulang kayu melainkan dalam baskom. Perubahan ini diyakini penikmat sinonggi telah mengurangi kelegitan rasanya yang khas. Begitu pula dengan penggunaan posonggi yang menghilang, saat ini orang lebih banyak langsung menggunakan tangan atau memakai sendok untuk mengkonsumsi sinonggi. (wikipedia)

Cara Penyajian
Sebelum dimasak, pati sagu direndam di dalam baskom, atau sejenisnya, dengan menggunakan air dingin selama satu malam. Biarkan hingga mengendap. Kemudian air dibuang. Ketika akan diolah menjadi makanan, sagu dicairkan dengan air dingin secukupnya. Lalu, siramkan air panas (sampai mendidih) sedikit demi sedikit sambil sagu diaduk-aduk hingga mengental. Orang bilang, ia menyerupai lem.
Sebaiknya, sebelum sagu diolah menjadi makanan siap saji, sayur, kuah ikan, serta sambal sudah disiapkan. Jadi bisa langsung dimakan pada saat sinonggi masih panas. Sayur dan sambal juga akan lebih nikmat jika ditambah dengan daun kemangi dan jeruk purut. Di Kendari, jeruk purut dikenal dengan nama jeruk Tolaki.
Cara Makan
Cara makan Sinonggi ini adalah pertama-tama air kuah, bisa air kuah sayur yang sudah terpisah tadi atau bisa juga air kuah ikan atau daging/ayam yang dimasak tawaoloho, atau campuran keduanya sesuai selera diambil secukupnya dipiring kemudian ditambahkan perasan jeruk purut (bahasa lokal: jeruk Tolaki), lalu Sinonggi atau sagu yang telah kental tadi diambil dengan cara digulung memakai posonggi (sumpit) dimasukkan kedalam kuah tadi kemudian dicampur dengan sayur dan lauk ikan, daging/ayam serta tentu tidak ketinggalan sambal terasi plus mangga mudanya.
Kandungan Serta Manfaat Sinonggi
Sinonggi juga memiliki kandungan yang sangat bermanfaat bagi kesehatan.Sinonggi termasuk makanan yang menyegarkan dan sehat. Selain sayuran dan lauknya dimasak dengan bumbu yang tidak terlalu banyak (masak bening), menurut penelitian litbang deptan Sagu sebagai bahan baku utama dikenal memiliki kandungan karbohidrat sekitar 85,6%, serat 5% dan untuk 100 gr sagu kering setara dengan 355 kalori. Selain mengandung karbohidrat juga mengandung polimer alami yaitu semacam zat yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia seperti memperlambat peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga aman dikonsumsi oleh penderita diabetes melitus. Selain itu, serat pada sagu juga mengandung zat yang berfungsi sebagai probiotik, meningkatkan kekebalan tubuh, serta mengurangi resiko terkena kanker usus dan paru-paru.
Masonggi lebih enak jika disajikan dengan pelengkap makanan seperti ikan, sayur bening, sayur santan atau makanan pilihan lainnya. Tergantung selera. Biasanya lebih terasa nikmatnya jika disajikan bareng-bareng teman, keluarga bhkan sinonggi menjadi menu wajib ibu-ibu arisan.
Sinonggi, makanan khas suku Tolaki ini tidak hanya khusus suku Tolaki, tapi juga sudah banyak digemari oleh masyarakat lain yang ada di Sulawesi Tenggara, baik anak-anak, remaja dan orang dewasa. Bahkan kini sudah menjadi pengganti makan siang beberapa warga kota Kendari.
Saat ini, Sinonggi telah masuk ke hotel-hotel sebagai menu khas Sulawesi Tenggara sebagai salah satu menu dalam perjamuan tamu-tamu pemerintah setempat. Di Kota Kendari, kini warung atau restoran yang menyajikan makanan khas suku tolaki ini sudah banyak, dan bahan bakunya tersedia di pasar tradisional.



BAB IV
PENUTUP
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh hubungannya dengan makalah ini Penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman memberikan kritik saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis para pembaca khusus pada penulis. Aamiin
















DAFTAR PUSTAKA
Diakses dari http://sripranowo.blogdetik.com/materi-kelas-xi/, pada 16 maret 2015, pukul 11.35 WIB
Characteristic of Culture, diakses dari http://anthro.palomar.edu/culture/culture_2.htm, tanggal 19 maret, 2015, pukul 10.45 WIB
Diakses dari http://www.slideshare.net/arismacahyani78/materi-ppt-kebudayaan, pada 21 maret 2015, pukul 18.55


TUGAS MAKALAH TENTANG KEBUDAYAAN YANG ADA DI SULAWESI TENGGARA

TUGAS MAKALAH KEBUDAYAAN DI SULAWESI TENGGARA OLEH: LAODE SUYADI SURYA ALAM JURUSAN ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI ILMU ...