TUGAS MAKALAH
KEBUDAYAAN DI SULAWESI TENGGARA

OLEH:
LAODE SUYADI SURYA ALAM
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI ILMU
PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas segala rahmat dan berkatnya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
dengan baik. Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas Ilmu Sosial Budaya.
Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari
sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari
para pembaca untuk perbaikan penulis dimasa yang akan
datang. Semoga laporan ini
bermanfaat bagi semua pihak.
Kendari,..oktober
2016
Laode suyadi surya alam
BAB I
PENDAHULUAN
a.1 latar belakang
Sinonggi
adalah makanan khas suku Tolaki dari Sulawesi Tenggara, Indonesia, yang terbuat dari pati sari sagu.[1] Suku Tolaki memiliki tradisi
menyantap sinonggi bersama-sama yang disebut mosonggi. Bagi Suku Tolaki,
sinonggi merupakan makanan pokok yang kini telah mengalami pergeseran makna dan
bersaing dengan nasi.[2]
Sinonggi adalah makanan pokok Suku Tolaki yang terbuat dari pati sari sagu. Di Sulawesi
Selatan, masakan yang
serupa dikenal dengan nama kapurung dan di Kepulauan Maluku disebut papeda. Meski masakan-masakan tersebut
memiliki kemiripan bahan, cara penyajiannya berbeda. Untuk sinonggi,
tepung sagu yang sudah dimasak tidak dicampurkan dengan sayur, kuah ikan,
sambal ("dabu-dabu"), atau bumbu lainnya, namun
tergantung selera masing-masing. Bagi suku Tolaki, sinonggi dahulu merupakan
makanan pokok, namun saat ini telah menjadi makanan sekunder pengganti beras pada masa paceklik.
Sejarah
Walaupun merupakan makanan khas Suku Tolaki, belum ada yang mengetahui
sejak kapan Suku Tolaki mengonsumsi sinonggi. Namun, makanan ini sudah ada
sejak ratusan tahun silam layaknya beras. Mitos Tolaki menyebutkan bahwa pohon
sagu bahan baku Sinonggi tumbuh dengan sendirinya di perkampungan Kuko Hulu di Sungai Konaweha, yang kini bernama Latoma Tua. Dalam bahasa Tolaki, ia disebut "sowurere", yang
artinya "suatu kampung yang ditumbuhi ribuan pohon sagu". Lokasinya
persis di dekat Tongauna,
Kecamatan Ulu Iwoi, Kabupaten Kolaka. Versi lain menyebutkan bahwa pohon
sagu yang tumbuh di rawa-rawa tersebut, sebetulnya berasal dari Maluku.
Nama sinonggi diyakini budayawan lokal berasal dari kata posonggi.[1] Posonggi atau o songgi
(bahasa Tolaki) merupakan alat mirip sumpit terbuat dari bambu yang dihaluskan
dengan ukuran panjang kurang dari sepuluh sentimeter. Alat inilah yang
digunakan untuk mengambil sinonggi dari tempat penyajian. Dengan cara
digulung, sinonggi diletakkan ke piring yang telah diisi kuah sayur dan
ikan serta bumbu lainnya. Gulungan sinonggi di piring kemudian dipotong-potong
dan dimasukkan ke dalam mulut menggunakan alat serupa yang berukuran lebih
kecil atau dengan jari. Sinonggi biasanya tidak dikunyah, tetapi ditelan
langsung.[2]
Dahulu orang tua menyimpan sinonggi dalam dulang yang terbuat dari kayu. Dulang dalam
bahasa Tolaki adalah "odula". Seiring perubahan zaman,
sinonggi mulai tidak disimpan dalam dulang kayu melainkan dalam baskom.
Perubahan ini diyakini penikmat sinonggi telah mengurangi kelegitan
rasanya yang khas. Begitu pula dengan penggunaan posonggi yang
menghilang, saat ini orang lebih banyak langsung menggunakan tangan atau
memakai sendok untuk mengkonsumsi sinonggi.
Sebelumnya kita telah
mengenal Kebudayaan dari Provinsi Sulawesi
Selatan, kali ini kita akan
berkenalan dengan Kebudayaan dari Provinsi Sulawesi Tenggara yang juga
satu daratan yaitu Pulau Sulawesi. Seperti biasa kita akan melihat rumah adat,
pakaian adat, tari-tarian, senjata tradisional, suku, bahasa dan lagu daerah
dari Provinsi Sulawesi Tenggara. Berikut uraiannya :
1. Rumah Adat
Salah satu contoh
rumah adat Sulawesi Tenggara disebut Istana Sultan Buton. Istana Sultan Buton
disebut juga Malige. Bangunan tersebut tidak memakai paku dan merupakan rumah
panggung. Ia terdiri dari 3 lantai. Lantai pertama tempat kediaman raja dan
permaisuri, lantai kedua untuk tempat tinggal dan lantai ketiga tempat wanita
salat. Pada kiri kanan lanta dua ada ruangan tempat semacam menenun kain yang
disebut Bate.
Istana
Sultan Buton
|
Sultan Buton adalah
pilihan rakyat banyak. Sultan harus bersih dari cacat jasmani ataupun cacat
rohani. Untuk menggantikan kedudukan Sultan, tidak selamanya dari keturunan
Sultan yang berkuasa. Dapat pula dupilih dari adik atau kakak Sultan, bahkan
dari orang lain yang sederajat.
2. Pakaian Adat
Prianya memakai
pakaian adat berupa tutup kepala (destar), baju model jas tutup sarung sebatas
dengkul dan celana panjang.
Sedangkan wanitanya
memakai baju kebaya. Diatas kepalanya terdapat hiasan kembang dan hiasan
lainnya berupa anting anting, kalung, dan gelang. Pakaian adat ini berasal dari
Kendari.
Pakaian
Adat Sulawesi Tenggara
|
3. Tari tarian
Daerah Sulawesi Tenggara
a. Tari Balumpa,
merupakan tari selamat datang dalam menyambut tamu agung. Tari rakyat ini
berasal dari Buton.
b. Tari Dinggu,
melambangkan sifat kegotongroyongan dalam kerja bersama sewaktu menumbuk padi.
Sentuhan alu pada lumbung merupakan irama tersendiri yang menyentuh hati.
c. Tari Molulo,
adalah tarian yang indah danriang dari pergaulan muda mudi Sulawesi Tenggara.
d. Tari Motasu
(berladang), Tari Motasu diangkat dari tradisi masyarakat Tolaki di Kabupaten
Kolaka dan Kendari. Keseluruhannya menggambarkan ungkapan permohonan kepada
tuhan agar dalam berladang dapat perlindungan dan kelak dikaruniai hasil yang
melimpah.
Tari
Balumpa
|
Tari
Dinggu
|
4. Senjata
Tradisional
Keris adalah senjata
tradisional rakyat Sulawesi Tenggara/ bentuknya berlekuk lekuk seperti keris
pada umumnya. Istana dan banteng kerajaan Sultan Buton sangat terkenal dalam
sejarah perlawanan bersenjata menentang Belanda. Keris dan pedang dipakai untuk
perang jarak dekat, sedangkan tombak, lembing dan sumpitan untuk perang jarak
jauh.
Keris
Sulawesi Tenggara
|
5. Suku : Suku da marga
yang terdapat didaerah Sulawesi Tenggara adalah : Walio,Tolaki, Muna, Buton, Moronene,
Wowonii, Kulisusu, dan lain lain.
6. Bahasa Daerah : Tolaki,Buton, Muna, Laki dan lain lain.
PROSES
TERBENTUKNYA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
Kita mulai tahun 1938,
ketika Afdeeling Buton and Laiwoi diubah menjadi Sulawesi Tenggara dengan ibukotanya
Bau-Bau. Lahirnya UU No. 44/1950 tentang Pembentukan NIT, sekaligus membagi
daerah bagian sebagai pengganti bekas Afdeeling Buton dan Laiwoi dan Onder
Afdeeling Kolaka menjadi bagian dari Sulawesi Tenggara.
Pada awal kemerdekaan
Sulawesi Tenggara masih dalam wilayah Propinsi Sulawesi (Groote Celebes)
sebagai salah satu propinsi dari 8 (delapan) propinsi yang dibentuk berdasarkan
sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, dengan ibukotanya Makassar yang
dipimpin oleh seorang gubernur. Ditingkat residen masyarakat Sulawesi Selatan
dan Tenggara mendesak pemerintah agar gabungan daerah Celebes Selatan
dibubarkan. Oleh Gubernur Sulawesi mengeluarkan Peraturan Pemerintah
No. 34/1952 tentang
Pembentukan Daerah Otonom setingkat Kabupaten terhadap ketujuh
daerah administrasinya, yaitu : Makassar, Bonthain, Bone, Pare-Pare, Mandar,
Luwu dan Sulawesi Tenggara.
Terbentuknya tujuh daerah
otonom setingkat kabupaten yang tergabung dalam wilayah Propinsi Sulawesi
Selatan Tenggara (Sulselra), maka status Sulawesi
Tenggara telah menjadi daerah tingkat II yang berkedudukan di Bau-Bau.
Wilayah administrasi
Kabupaten Sulawesi Tenggara
terbagi dalam 4 kewedanaan, yaitu :
1. Kewedanaan Buton ibukotanya
Bau-Bau, terdiri 20 distrik dan 390 kampung.
2. Kewedanaan Muna ibukotanya
Raha terdiri 4 distrik dan 390 kampung.
3. Kewedanaan Kendari
ibukotanya Kendari terdiri 19 distrik dan 315 kampung.
4. Kewedanaan Kolaka
ibukotanya Kolaka terdiri 2 distrik dan 30 kampung. (Monografi, 1997 : 104-105)
Sejak dibentuknya Kabupaten
Sulawesi Tenggara telah terjadi konflik antara etnik wilayah daratan dan etnik
wilayah kepulauan. Etnik daratan merasa bahwa Kabupaten Sulawesi Tenggara
daratan layak dijadikan satu daerah otonom, sama dengan wilayah kepulauan. Hal
ini disebabkan oleh adanya kesulitan dalam hubungan transportasi antara wilayah
daratan dan kepulauan sementara pemerintahan berada di wilayah kepulauan yaitu
Bau-Bau. Di samping itu juga disebabkan oleh elit tradisional yang merasa
tersaingi dan tidak mendapatkan posisi jabatan secara proporsional, sehingga
menimbulkan kekecewaan para elit politik tradisional di wilayah daratan dan
mendorong mereka untuk berjuang membentuk Kabupaten Sulawesi Timur.
Dengan dipelopori oleh satu
panitia yang berkedudukan di Kendari, yaitu "Panitia Penuntut Kabupaten
Sulawesi Timur" pada tanggal 24 Agustus 1951, agar kawasan daratan Kolaka,
Kendari, Poleang plus Rumbia dijadikan daerah otonom setingkat kabupaten dari
Kabupaten Sulawesi Tenggara dengan berbagai alasan : (1) keadaan geografis yang
terdiri dari kawasan daratan dan kepulauan yang menampakkan adanya pemisahan
kesatuan kedua kawasan tersebut, (2) potensi yang menunjukkan kemungkinan
masing-masing kawasan untuk membiayai rumah tangganya sendiri; (3) keadaan
politik psikologis, menunjukkan adanya keinginan yang kuat untuk masing-masing
memperoleh hak otonom; (4) sidang DPRS pada tanggal 23 Januari 1954 di Kendari,
kemungkinan daerah Sulawesi Tenggara dibagi atas dua kabupaten (Thalha, 1082 :
269).
Pada sidang DPRS Sulawesi
Tenggara tanggal 27 Juli 1954 di Raha, atas usul S. Joesoef dan kawan-kawannya
akhirnya sidang menyetujui pembagian Kabupaten Sulawesi Tenggara, menjadi dua
daerah otonom setingkat kabupaten masing-masing diberi nama :
a. Kabupaten Sulawesi
Timur dengan ibukotanya
Kendari, kabupaten ini meliputi wilayah kewedanaan Kendari dan
Kolaka, kemudian ditambah dengan distrik Poleang Bugis, Poleang Moronene dan
Rumbia.
b. Kabupaten Sulawesi
Tenggara dengan ibukotanya
Bau-Bau, wilayahnya meliputi kewedanan
Buton dan Kewedanan Muna (Thalha, 1982: 23 ).
Dalam merealisasikan hasil
keputusan Sidang DPRDS tentang pemekaran Kabupaten Daerah Sulawesi Tenggara,
maka pada bulan Oktober 1955 telah mengirim delegasi ke pemerintah pusat di
Jakarta yang terdiri atas : (1) Kepala Daerah Sulawesi Tenggara Abdul Madjid
Pattaropeara, (2) Ketua DPRDS Sulawesi Tenggara, (3) Anggota DPD Sulawesi
Tenggara La Ode Rasjid.
Sesuai dengan laporan
delegasi kepada DPRDS Sulawesi Tenggara pada tanggal 4 Februari 1956,
pemerintah pusat menyetujui pemekaran Kabupaten Sulawesi Tenggara, namun
pelaksanaannya menunggu rancangan undang-undang pokok pemerintah daerah untuk
disetujui oleh parlemen. Dengan keberhasilan para delegasi, maka rakyat
Sulawesi Tenggara khususnya rakyat di wilayah daratan menyambut gembira rencana
ini, dimana hasrat dan keinginan masyarakat terhadap pemekaran Kabupaten
Sulawesi Timur ditandai dengan pernyataan rakyat di kawasan daratan yaitu di
Kecamatan Wawotobi, rakyat di Kecamatan Sulewatu (Mowewe), rakyat di Kecamatan
Moronene (Poleang Bugis dan Poleang Moronene), Persatuan Masyarakat Indonesia
Sulawesi Timur di Makassar dan dari Panitia Pelaksana Kabupaten Sulawesi Timur.
Semula rakyat Kolaka
solider dan sepaham dengan Kendari tanpa diselingi pertentangan mengenai
penempatan ibukota daerah Sulawesi Timur, tetapi setelah perkembangan
penuntutan berjalan, timbullah gejala-gejala yang membawa kesan bahwa hubungan
antara daerah itu tidak dapat dipertahankan lagi.
Dalam suatu rapat di Kolaka
pada tanggal 26 Mei 1957 antara utusan Panitia Pelaksana Persiapan Kabupaten
Sulawesi Timur dengan wakil-wakil rakyat Kolaka tidak menyetujui kehendak
Panitia Pelaksana Persiapan Kabupaten Sulawesi Timur dan pihak Kolaka menghendaki
supaya keputusan panitia itu ditarik kembali, akan tetapi Kendari tetap
mempertahankan keputusan Panitia Pelaksana Persiapan Kabupaten Sulawesi
Tenggara, sehingga rapat yang diadakan itu tidak dapat membawa keputusan yang
diinginkan. Akibatnya, pada tanggal 17 Juni 1957 mengeluarkan pernyataan dengan
tegas tidak menyetujui penempatan ibukota Kabupaten Sulawesi Timur di Kendari
dan mendesak pemerintah pusat supaya penempatan Kabupaten Sulawesi Timur
berkedudukan di Kolaka. Dengan munculnya keinginan untuk membentuk kabupaten
tersendiri, sebagai salah satu puncak persaingan di antara etnik daratan dan
kepulauan yang menyebabkan gagalnya pembentukan Kabupaten Sulawesi Timur.
Di Kewedanan Muna, dengan
dipelopori oleh satu panitia penuntut Kabupaten Muna di Makassar maka pada
tanggal 5 Agustus 1956 tercetus pula suatu keinginan yang menghendaki supaya
Muna dijadikan satu otonomi setingkat kabupaten, dan pada tanggal 2 September
1956 dengan resolusi dari Panitia Penuntut Kabupaten Muna bersama-sama dengan pembentukan
kabupaten-kabupaten lainnya di Propinsi Sulawesi Tenggara.
Gelora tuntutan rakyat
Muna, telah tampak ketika kunjungan residen koordinator Sulawesi Tenggara pada
tanggal 13 September 1957 dimana beberapa slogan yang secara politis
menghendaki otonomi setingkat kabupaten, di samping itu dengan keluarnya Surat
Kepala Daeah Sulawesi Tenggara pada tanggal 8 November 1957 No. 3/4/17 yang
ditujukan kepada Gubernur Sulawesi, selanjutnya dalam surat kawat dari Kepala
Daerah Sulawesi diharapkan perhatian beliau jangan sampai kelak kekacauan
politik mengakibatkan kekacauan keamanan.
Demikian pula kewedanan
Buton juga timbul aspirasi yang sama dengan daerah lainnya (Kendari, Kolaka dan
Muna), dengan pertimbangan bahwa Kewedanan Buton sebagai wilayah Swapraja
memiliki sumber keuangan yang lebih baik dibandingkan dengan Swapraja lainnya
di Sulawesi Tenggara dan wilayahnya
masih terhindar dari gangguan keamanan.
Adanya keinginan sebagian
rakyat Kewedanan Buton menghendaki tetapnya Swapraja Buton dalam bentuk daerah
istimewa didasari bahwa pemerintahan swaparaja Buton telah mengalami demokratis
pemerintahan sejak pada tanggal 15 April 1951, dengan dibubarkan
anggota-anggota swaparaja dan dibentuk Dewan Pemerintahan Daerah yang
mencerminkan perimbangan partai partai politik di daerah ini.
Dalam mempersiapkan
pembentukan empat kabupaten sebagai daerah otonom, pada tanggal 20-22 Juli 1959
diadakanlah musyawarah antara kewedanan di Kabupaten Sulawesi Tenggara yang
berlangsung di Kewedanan Kendari, dan dihadiri oleh utusan dari Kewedanan
Buton, Muna, Kendari dan Kolaka masing-masing berjumlah 15 orang dan 5 orang
dari staf Kantor Bupati Kepala Daerah Sulawesi Tenggara. Dalam rapat itu hadir
pula Kepala Pemerintahan Negeri Buton H. Abdul Malik, Kepala Pemerintahan Negeri
Muna diwakili Asisten Residen Wedanan A.R. Muntu, Kepala Pemerintahan Negara
Kendari diwakili oleh Anas Bunggasi dan Kepala Pemerintahan Negeri Kolaka Abdul
Wahab dan wakil-wakil dari setiap swapraja sebagai peninjau dalam musyawarah
(Monografi, 1997:99).
Hasil keputusan rakyat
Sulawesi Tenggara terlaksana setelah
ditetapkannya Undang - Undang No.29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Empat
Daerah Otonom Tingkat II sebagai realisasi pemekaran Kabupaten Sulawesi
Tenggara, dan Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tentang
Pengangkatan Kepala Daerah Tingkat II, masing-masing adalah :
1. Jacob Silondae sebagai
Kepala Daerah Tingkat II Kolaka dilantik pada tanggal 2 Februari 1960.
2. La Ode Abdul Halim
sebagai Kepala Daerah Tingkat II
Buton dilantik pada tanggal 1 Maret 1960.
3. La Ode Abdul Koedoes
sebagai Kepala Daerah Tigkat II Muna dilantik tanggal 1 Maret 1960.
4. Drs. Abdullah Silondae
sebagai Kepala Daerah Tingkat II Kendari dilantik pada tanggal 3 Maret 1960
(Monografi, 1997 : 130).
Dengan terbentuknya empat
daerah tingkat II di Sulawesi Tenggara maka residen koordinator Sulawesi tidak
lagi mengkoordinir satu kabupaten dalam
satu trotoar, tetapi telah mengkoordinir 4 daerah tingkat II
masing-masing : Buton, Muna, Kendari dan Kolaka. Bertambahnya jumlah Kabupaten
se-Sulawesi Tenggara sehingga mendorong terbentuknya keresiden Sulawesi
Tenggara yang berkedudukan di Kendari.
Pada tahun 1958, para
tokoh-tokoh masyarakat yang tergabung dalam 4 Kabupaten Dati II Sulawesi
Tenggara melaksanakan musyawarah dalam hal untuk memperjuangkan pembentukan
Propinsi Sulawesi Tenggara dengan peserta peserta musyawarah antara lain yaitu
Sultan Buton, La Ode Manarfa, La Ode Abdul Kasim, Bunggasi, Djuhaepa Balaka,
Abdul Rahman, II Surabaya, Raja Muna, La
Ode Rianse, La Ode Ado, La Ode Tobulu, Ch Pingak dan Muhidin. Dalam kepulusan
musyawarah tersebut adalah : (1) seluruh peserta sepakat dibentuknya Propinsi
Sulawesi Tenggara yang meliputi Buton, Muna, Kolaka dan Kendari serta mendesak
agar pemerintah pusat segera merealisasikan pembentukan Propinsi Sulawesi
Tenggara lepas dari Propinsi Sulselra,(2) menetapkan calon ibukota Propinsi
Sultra, pada saat diskusi berlangsung alot karena utusan Buton dan Muna
mengusulkan Kota Bau-Bau menjadi ibukota propinsi, sedangkan utusan Kendari dan
Kolaka mengusulkan Kota Kendari sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara, dan
akhirnya mereka sepakat/menyetujui Kota Kendari ,ketika sebagian tokoh Muna
mendukung kota Kendari sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara.
Pada sidang umum MPRS,
bulan Mei tahun 1963 H. Jacob Silondae dan Eddy Sabbara memperjuangkan lagi
realisasi TAP MPRS tahun 1960, bahwa pembentukan 4 propinsi di Sulawesi
khususnya di Sulawesi Tenggara dilaksanakan pada akhir tahun 1963 atau
selambat-lambatnya tahun 1964. Dimana DPR GR RJ akan melahirkan UU Dati I
Sulawesi Tenggara akan tetapi sampai tahun 1963 belum juga lahir UU. Yang
dibentuk oleh DPR GR RI, maka oleh pemerintah dibuatlah Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 34 tahun 1963 tentang pembentukan Propinsi
Sulawesi Tenggara yang harus dilaksanakan pada awal tahun 1964.
Ketika Yacob Silondae
melaporkan kepada gubernur Sulselra H.A Rivai akan adanya ketetapan MPRS
tentang Pembentukan Kabupaten Propinsi Sulawesi Tenggara beliau menyetujui pelaksanaan
realisasi tersebut.
Dalam resolusi musyawarah
rakyat Sulawesi Tenggara di Kendari kepada DPR GR Sulawesi Selatan dan Tenggara
dimana dalam sidaug paripurna DPR GR tersebut menyetujui sccara aklamasi
Pembentukan Propinsi Dati I Sulawesi Tenggara, dan soal ibu kota pun disetujui
Kendari sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara. Sehingga pada tanggal 27
April 1964, Gubernur Sulawesi Selatan/Tenggara Kol. H. A. Rivai menyerahkan
pimpinan pemerintahan Propinsi Sulawesi Tenggara kepada Bapak J. Wayong sebagai
Pejabat Gubernur Pertama di Propinsi Sulawesi Tenggara.
Sebagaimana dijelaskan oleh
Yusuf Djalil bahwa dalam proses penetapan Kendari sebagai ibu kota Provinsi
Sulawesi Tenggara (tidak terlepas dari peran para delegasi, tokoh-tokoh
masyarakat, pemuda dan mahasiswa dalam memperjuangkan Provinsi Sulawesi
Tenggara menjadi daerah yang berdiri sendiri terlepas dan wilayah Sulselra
oleh para delegasi
atau utusun-utusan daerah
yang masih menjabat sebagai anggota DPRD
di propinsi Sulselra serta dukungan masyarakat yang masih tergabung dalam
Sulselra sepakat mendukung penuh otonomi berdirinya Propinsi Sulawesi Tenggara
dimana terlebih dahulu dikenal sistem pemerintahan sistem swapraja pada zaman
penjajah yang ibukotanya berkedudukan di Bau-Bau. Namun dalam perkembangannya
Sulawesi Tenggara mempunyai status sebagai propinsi maka ditetapkanlah Kendari
sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara yang dikepalai oleh seorang gubernur
.
Dari penjelasan di atas
bahwa dalam proses penetapan Kendari sebagai Ibu kota Provinsi Sulawesi
Tenggara tanpa adanya diskriminasi dari manapun baik ras, suku dan agama dimana
masyarakat Sulawesi Tenggara bahu
membahu dalam mendukung berdirinya Propinsi Sulawesi Tenggara.
Dengan penetapan Propinsi
Sulawesi Tenggara sebagai propinsi yang berdiri sendiri dengan wilayah
pemerintahan meliputi empat daerah tingkat II yakni Buton, Kendari, Kolaka dan
Muna, dari keempat wilayah tersebut terdapat pula wilayah kerja pembantu bupati
yaitu :
1. Kabupaten/Daerah Tk. I
Buton terdiri dari empat Pembantu Bupati, yaitu :
a. Pembantu Bupati Buton di
Wangi-Wangi meliputi wilayah Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Kecamatan
Binongko.
b. Pembantu Bupati
Buton di Kasipute
meliputi wilayah Poleang dan Rumbia.
c. Pembantu Bupati Buton di Mawasangka meliputi wilayah Kecamatan Kabena, Mawasangka, dan Gu.
d. Pembantu Bupati Buton di
Pasar Wajo meliputi Kecamatan Wolio, Kapuntori, Pasar Wajo, Sampolawa
dan Batauga.
2. Kabupaten/Daerah Tingkat II
Muna terdiri dari dua Pembantu Bupati, yaitu :
a. Pembantu Bupati Muna di
Lambu Balano meliputi wilayah Kecamatan Katobu, Tongkuno, Kabawo dan Tikep.
b. Pembantu Bupati
Muna di Pure
meliputi wilayah Kulisusu
dan Wakorumba.
3. Kabupaten/Daerah Tingkat II
Kendari terdiri dari tiga Pembantu Bupati, yaitu:
a. Pembantu Bupati Kendari di
Tinobu meliputi wilayah Kecamatan Asera, Lasolo dan Wawonii.
b. Pembantu Bupati Kendari di
Wawotobi meliputi wilayah Kecamatan Lambuya, Wawotobi dan Unaaha.
c. Pembantu Bupati Kendari di
Punggaluku meliputi wilayah Kecamatan Lainea, Tinanggea, Moramo dan Ranomeeto.
4. Kabupaten / Daerah Tingkat
II Kolaka terdiri dari dua Pembantu Bupati, yaitu :
a. Pembantu Bupati
Kolaka di Pomalaa
meliputi wilayah Kecamatan Tirawuta, Mowewe, Wundulako dan
Kota Kolaka.
b. Pembantu Bupati Kolaka di
Lasusua meliputi wilayah Kecamatan Lasusua dan Pakue (Monografi, 1977: 20).
Penetapan wilayah pembantu
bupati tersebut ditetapkan dengan Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 17 Januari
1977 No. Pern 7/1/14, sebagai salah satu pemekaran atau perluasan wilayah
kabupaten yang berada di wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara.
Berita pertama tentang Kota
Kendari ditulis oleh J.N. Vosmaers (orang Belanda) yang mengunjungi Teluk
Kendari pertama kalinya pada tangga 9 Mei 1831, pesisir Teluk Kendari dihuni
oleh orang Bajo dan orang Bugis. Vosmaers kemudian mendirikan loji (kantor
dagang) di suatu bukit di tepi Teluk Kendari yang kemudian disebut Bukit
Vosmaers. Vosmaers menggambarkan bahwa Teluk Kendari itu merupakan suatu
pelabuhan alam yang tenang dan indah, di depan teluk merupakan jalur pelayaran
dan perdagangan yang ramai menghubungkan Makassar dan bagian barat Ternate di
bagian timur yang sejak dahulu menjadi pusat-pusat perdagangan di Nusantara.
Ditinjau dari segi letak
geografisnya posisi Kendari di pertengahan sehingga dapat dikategorikan sebagai
jalur yang dapat dilalui dari semua daerah yang ada di Sulawesi Tenggara baik
melalui jalur darat maupun jalur laut
sehingga diposisikannya Kota Kendari sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi
Tenggara dan kebijakan-kebijakan gubernur yang berdomisili di Ibukota Sulawesi
Tenggara dapat secara cepat menjangkau daerah-daerah lain yang ada di wilayah
Sulawesi Tenggara.
Dengan demikian bahwa
terbentuknya Teluk Kendari sebagai salah satu jalur perdagangan yang didorong
oleh pelabuhan alami yang indah dan letaknya yang strategis maka Kota Kendari
tidak hanya menjadi kota pelabuhan dan perdagangan tetapi berkembang pula
sebagai kota pemerintahan sehingga menjadikan Kendari sebagai Ibukota Propinsi
Sulawesi Tenggara dimana pemerintah daerah memberikan peranan dalam membangun
dan menata Kota Kendari agar dapat menunjang kemajuan dan perkembangan
pembangunan yang ada di Sulawesi Tenggara dan dapat setara dengan daerah-daerah
lain yang telah mengalami kemajuan terhadap pembangunan.
Kendari dan mulai
terbentukn ya menjadi Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 27
September 1964 sampai kini tahun 2007 telah mengalami perkembangan baik dalam
bidang ekonomi, politik dan sosial budaya serta dalam sektor perikanan,
pertanian dan pariwisata yang dapat menunjang dalam pembangunan yang ada di
wilayah Kota Kendari maupun daerah-daerah yang ada di dalam wilayah Sulawesi Tenggara
telah mengalami kemajuan utamanya pembangunan yang ada di Kota Kendari terlihat
dengan adanya pembangunan gedung-gedung, pertokoan, pasar sentral. Gubernur Ali Mazi, dalam tiga tahun memimpin Sulawesi
Tenggara, menoreh sebuah lompatan peradaban secara spektakuler yang belum
pernah ada sebelumnya di Sulawesi Tenggara antara lain pembangunan Bandara
bertaraf Internasional, Tugu Persatuan setinggi Monas (Monasnya Indonesia
Timur) menyebabkan investor dalam dan luar negeri mulai melirik serius kota Kendari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bagi masyarakat yang telah lama tinggal
di Sulawesi Tenggara, siapa yang tidak kenal dengan Sinonggi?. Pastinya hampir
warga sultra sudah mengetahui apa yang dimaksud dengan sinonggi. Bagi yang
belum tahu, mari simak artikel yang dikutip dari beberapa sumber.
Sinonggi adalah makanan khas suku Tolaki dari
Sulawesi Tenggara, Indonesia, yang terbuat dari pati sari sagu. Suku Tolaki
memiliki tradisi menyantap sinonggi bersama-sama yang disebut mosonggi. Bagi
Suku Tolaki, sinonggi merupakan makanan pokok yang kini telah mengalami
pergeseran makna dan bersaing dengan nasi.
Bagi masyarakat yang telah lama tinggal
di Sulawesi Tenggara, siapa yang tidak kenal dengan Sinonggi?. Pastinya hampir
warga sultra sudah mengetahui apa yang dimaksud dengan sinonggi. Bagi yang
belum tahu, mari simak artikel yang dikutip dari beberapa sumber.
BAB III
PEMBAHASAN
Mosonggi atau Sinonggi merupakan makanan khas dari Kota
Kendari, Sulawesi
Tenggara. Makanan ini berbahan dasar sagu yang diolah dengan seduhan air
panas, dan juga mirip dengan Kapurung, makanan khas dari daerah Luwu, Sulawesi
Selatan.
Perbedaan kedua makanan khas ini terletak pada cara penyajiannya. Pada Kapurung, sagu yang sudah matang dibuat bulat lalu dicampur bersama kuah dengan bahan pelengkap lainnya seperti sayur kangkung dan ikan sarden atau udang. Sementara itu, Sinonggi disajikan dengan cara sagu yang sudah dimasak ditempatkan secara terpisah.
Sagu tersebut baru dibuat bulat pada saat akan disantap lalu disiram dengan kuah sayur-sayuran ditambah dengan kuah ikan putih atau ikan kerapu. Adapun isi sayuran pada Sinonggi adalah sayur bayam, kangkung, kacang panjang, dan terong kecil.
Sinonggi pada hakekatnya merupakan makanan sehari-hari suku Tolaki yang sebagian besar mendiami wilayah Kabupaten Kendari dan Konawe. Kata Sinonggi diambil dari bahasa suku tersebut yakni posonggi. Posonggi adalah sebuah alat yang menyerupai sumpit dan terbuat dari bambu dengan ukuran panjang sekitar 20 cm.
Alat ini digunakan untuk menyantap Sinonggi dengan cara menggulung tepung sagu yang sudah matang. Seiring perkembangan zaman, sumpit tidak lagi digunakan untuk menyantap makanan ini, melainkan menggunakan tangan langsung atau memakai sendok.
Menurut cerita, Sinonggi menjadi makanan khas dari Kota Kendari bermula ketika ada seorang warga dari suku Tolaki bernama Sri merantau ke Kota Kendari dan membuka usaha warung makan dengan menu Sinonggi. Ia memilih menu ini karena selain belum ada pedagang makanan yang menjualnya, ia juga ingin memperkenalkan makanan khas daerahnya.
Alhasil, menu Sinonggi yang disajikannya ternyata digemari oleh semua golongan usia maupun golongan sosial. Selain itu, para pembeli di warungnya bukan hanya warga asli Tolaki, tetapi juga warga pendatang yang tinggal di Kota Kendari.
Hingga saat ini, Sinonggi telah merambah ke hotel-hotel sebagai menu istimewa dan menjadi salah satu menu dalam perjamuan tamu-tamu pemerintah setempat. Di Kota Kendari sendiri, sudah ada puluhan warung makan yang menyajikan makanan khas Tolaki ini.
Untuk pasokan bahan bakunya, para pedagang tidak perlu bersusah-susah ke daerah pedalaman mencari tepung sagu karena sudah banyak dijual di pasar-pasar tradisional dengan harga terjangkau.
Selain memiliki cita rasa yang lezat, Sinonggi termasuk makanan yang sehat dan menyegarkan. Sagu sebagai bahan baku utama dikenal memiliki kandungan karbohidrat sekitar 85,6%, serat 5% dan untuk 100 gr sagu kering setara dengan 355 kalori.
Karbohidrat juga mengandung polimer alami yaitu semacam zat yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia seperti memperlambat peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga aman dikonsumsi oleh penderita diabetes melitus.
Selain itu, serat pada sagu juga mengandung zat yang berfungsi sebagai prebiotik, meningkatkan kekebalan tubuh, serta mengurangi resiko terkena kanker usus dan paru-paru. Serat tersebut juga berfungsi untuk mengurangi kegemukan.
Oleh karena itu, Sinonggi yang berbahan dasar sagu ini cocok dikonsumsi bagi Anda yang sedang diet. Selain mengenyangkan, makanan ini tidak menyebabkan berat badan Anda naik. Di sisi lain, sagu memang dikenal memiliki kandungan gizi yang sangat rendah. Namun jika diolah dan dikombinasikan dengan bahan-bahan yang kaya protein dan sayur-mayur seperti halnya Sinonggi, maka sagu akan menjadi makanan yang sehat dan bergizi.
Keistimewaan lain dari Sinonggi ada pada cara penyajiannya. Bahan utama dan bahan-bahan pelengkap lainnya tidak dicampur menjadi satu sehingga dapat diracik sendiri sesuai dengan selera penikmatnya. Meracik Sinonggi merupakan suatu keasyikan tersendiri, terutama bagi Anda yang belum pernah mencicipinya.
Sinonggi akan lebih lezat disantap jika masih dalam keadaan panas. Bagi Anda yang menyukai sensasi pedas dapat menambahkan sambal yang sudah disediakan. Sambal khusus untuk Sinonggi ini terdiri dari dua pilihan yaitu sambal terasi tumis dan sambal mentah. Akan terasa lebih nikmat lagi jika makanan sagu ini ditambahkan daun kemangi dan perasan air jeruk purut.
Warung makan yang menyajikan menu Sinonggi tidak sulit ditemukan di Kota Kendari. Beberapa warung makan yang cukup terkenal di kota ini di antaranya berada di Jalan Jenderal A. Yani dan di Jalan Antero Hamra yang dulunya bernama Jalan Kembar Kali Kadia.
Sinonggi adalah makanan khas suku Tolaki dari Sulawesi Tenggara, Indonesia, yang terbuat dari pati sari sagu. Suku Tolaki memiliki tradisi menyantap sinonggi bersama-sama yang disebut mosonggi. Bagi Suku Tolaki, sinonggi merupakan makanan pokok yang kini telah mengalami pergeseran makna dan bersaing dengan nasi.
Perbedaan kedua makanan khas ini terletak pada cara penyajiannya. Pada Kapurung, sagu yang sudah matang dibuat bulat lalu dicampur bersama kuah dengan bahan pelengkap lainnya seperti sayur kangkung dan ikan sarden atau udang. Sementara itu, Sinonggi disajikan dengan cara sagu yang sudah dimasak ditempatkan secara terpisah.
Sagu tersebut baru dibuat bulat pada saat akan disantap lalu disiram dengan kuah sayur-sayuran ditambah dengan kuah ikan putih atau ikan kerapu. Adapun isi sayuran pada Sinonggi adalah sayur bayam, kangkung, kacang panjang, dan terong kecil.
Sinonggi pada hakekatnya merupakan makanan sehari-hari suku Tolaki yang sebagian besar mendiami wilayah Kabupaten Kendari dan Konawe. Kata Sinonggi diambil dari bahasa suku tersebut yakni posonggi. Posonggi adalah sebuah alat yang menyerupai sumpit dan terbuat dari bambu dengan ukuran panjang sekitar 20 cm.
Alat ini digunakan untuk menyantap Sinonggi dengan cara menggulung tepung sagu yang sudah matang. Seiring perkembangan zaman, sumpit tidak lagi digunakan untuk menyantap makanan ini, melainkan menggunakan tangan langsung atau memakai sendok.
Menurut cerita, Sinonggi menjadi makanan khas dari Kota Kendari bermula ketika ada seorang warga dari suku Tolaki bernama Sri merantau ke Kota Kendari dan membuka usaha warung makan dengan menu Sinonggi. Ia memilih menu ini karena selain belum ada pedagang makanan yang menjualnya, ia juga ingin memperkenalkan makanan khas daerahnya.
Alhasil, menu Sinonggi yang disajikannya ternyata digemari oleh semua golongan usia maupun golongan sosial. Selain itu, para pembeli di warungnya bukan hanya warga asli Tolaki, tetapi juga warga pendatang yang tinggal di Kota Kendari.
Hingga saat ini, Sinonggi telah merambah ke hotel-hotel sebagai menu istimewa dan menjadi salah satu menu dalam perjamuan tamu-tamu pemerintah setempat. Di Kota Kendari sendiri, sudah ada puluhan warung makan yang menyajikan makanan khas Tolaki ini.
Untuk pasokan bahan bakunya, para pedagang tidak perlu bersusah-susah ke daerah pedalaman mencari tepung sagu karena sudah banyak dijual di pasar-pasar tradisional dengan harga terjangkau.
Selain memiliki cita rasa yang lezat, Sinonggi termasuk makanan yang sehat dan menyegarkan. Sagu sebagai bahan baku utama dikenal memiliki kandungan karbohidrat sekitar 85,6%, serat 5% dan untuk 100 gr sagu kering setara dengan 355 kalori.
Karbohidrat juga mengandung polimer alami yaitu semacam zat yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia seperti memperlambat peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga aman dikonsumsi oleh penderita diabetes melitus.
Selain itu, serat pada sagu juga mengandung zat yang berfungsi sebagai prebiotik, meningkatkan kekebalan tubuh, serta mengurangi resiko terkena kanker usus dan paru-paru. Serat tersebut juga berfungsi untuk mengurangi kegemukan.
Oleh karena itu, Sinonggi yang berbahan dasar sagu ini cocok dikonsumsi bagi Anda yang sedang diet. Selain mengenyangkan, makanan ini tidak menyebabkan berat badan Anda naik. Di sisi lain, sagu memang dikenal memiliki kandungan gizi yang sangat rendah. Namun jika diolah dan dikombinasikan dengan bahan-bahan yang kaya protein dan sayur-mayur seperti halnya Sinonggi, maka sagu akan menjadi makanan yang sehat dan bergizi.
Keistimewaan lain dari Sinonggi ada pada cara penyajiannya. Bahan utama dan bahan-bahan pelengkap lainnya tidak dicampur menjadi satu sehingga dapat diracik sendiri sesuai dengan selera penikmatnya. Meracik Sinonggi merupakan suatu keasyikan tersendiri, terutama bagi Anda yang belum pernah mencicipinya.
Sinonggi akan lebih lezat disantap jika masih dalam keadaan panas. Bagi Anda yang menyukai sensasi pedas dapat menambahkan sambal yang sudah disediakan. Sambal khusus untuk Sinonggi ini terdiri dari dua pilihan yaitu sambal terasi tumis dan sambal mentah. Akan terasa lebih nikmat lagi jika makanan sagu ini ditambahkan daun kemangi dan perasan air jeruk purut.
Warung makan yang menyajikan menu Sinonggi tidak sulit ditemukan di Kota Kendari. Beberapa warung makan yang cukup terkenal di kota ini di antaranya berada di Jalan Jenderal A. Yani dan di Jalan Antero Hamra yang dulunya bernama Jalan Kembar Kali Kadia.
Sinonggi adalah makanan khas suku Tolaki dari Sulawesi Tenggara, Indonesia, yang terbuat dari pati sari sagu. Suku Tolaki memiliki tradisi menyantap sinonggi bersama-sama yang disebut mosonggi. Bagi Suku Tolaki, sinonggi merupakan makanan pokok yang kini telah mengalami pergeseran makna dan bersaing dengan nasi.
Sinonggi adalah makanan pokok Suku Tolaki
yang terbuat dari pati sari sagu. Di Sulawesi Selatan, masakan yang serupa
dikenal dengan nama kapurung dan di Kepulauan Maluku disebut papeda. Meski
masakan-masakan tersebut memiliki kemiripan bahan, cara penyajiannya berbeda.
Untuk sinonggi, tepung sagu yang sudah dimasak tidak dicampurkan dengan sayur,
kuah ikan, sambal ("dabu-dabu"), atau bumbu lainnya, namun tergantung
selera masing-masing. Bagi suku Tolaki, sinonggi dahulu merupakan makanan
pokok, namun saat ini telah menjadi makanan sekunder pengganti beras pada masa
paceklik.
Sejarah Sinonggi
Walaupun merupakan makanan khas Suku Tolaki,
belum ada yang mengetahui sejak kapan Suku Tolaki mengonsumsi sinonggi. Namun,
makanan ini sudah ada sejak ratusan tahun silam layaknya beras. Mitos Tolaki
menyebutkan bahwa pohon sagu bahan baku Sinonggi tumbuh dengan sendirinya di
perkampungan Kuko Hulu di Sungai Konaweha, yang kini bernama Latoma Tua. Dalam
bahasa Tolaki, ia disebut "sowurere", yang artinya "suatu
kampung yang ditumbuhi ribuan pohon sagu". Lokasinya persis di dekat
Tongauna, Kecamatan Ulu Iwoi, Kabupaten Kolaka. Versi lain menyebutkan bahwa
pohon sagu yang tumbuh di rawa-rawa tersebut, sebetulnya berasal dari Maluku.
Nama sinonggi diyakini budayawan lokal berasal
dari kata posonggi.Posonggi atau o songgi (bahasa Tolaki) merupakan alat mirip
sumpit terbuat dari bambu yang dihaluskan dengan ukuran panjang kurang dari
sepuluh sentimeter. Alat inilah yang digunakan untuk mengambil sinonggi dari
tempat penyajian. Dengan cara digulung, sinonggi diletakkan ke piring yang
telah diisi kuah sayur dan ikan serta bumbu lainnya. Gulungan sinonggi di
piring kemudian dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam mulut menggunakan alat
serupa yang berukuran lebih kecil atau dengan jari. Sinonggi biasanya tidak
dikunyah, tetapi ditelan langsung.
Dahulu orang tua menyimpan sinonggi dalam
dulang yang terbuat dari kayu. Dulang dalam bahasa Tolaki adalah
"odula". Seiring perubahan zaman, sinonggi mulai tidak disimpan dalam
dulang kayu melainkan dalam baskom. Perubahan ini diyakini penikmat sinonggi
telah mengurangi kelegitan rasanya yang khas. Begitu pula dengan penggunaan
posonggi yang menghilang, saat ini orang lebih banyak langsung menggunakan
tangan atau memakai sendok untuk mengkonsumsi sinonggi. (wikipedia)
Cara Penyajian
Sebelum dimasak, pati sagu direndam di dalam
baskom, atau sejenisnya, dengan menggunakan air dingin selama satu malam.
Biarkan hingga mengendap. Kemudian air dibuang. Ketika akan diolah menjadi
makanan, sagu dicairkan dengan air dingin secukupnya. Lalu, siramkan air panas
(sampai mendidih) sedikit demi sedikit sambil sagu diaduk-aduk hingga
mengental. Orang bilang, ia menyerupai lem.
Sebaiknya, sebelum sagu diolah menjadi
makanan siap saji, sayur, kuah ikan, serta sambal sudah disiapkan. Jadi bisa
langsung dimakan pada saat sinonggi masih panas. Sayur dan sambal juga akan
lebih nikmat jika ditambah dengan daun kemangi dan jeruk purut. Di Kendari, jeruk
purut dikenal dengan nama jeruk Tolaki.
Cara Makan
Cara makan Sinonggi ini adalah pertama-tama
air kuah, bisa air kuah sayur yang sudah terpisah tadi atau bisa juga air kuah
ikan atau daging/ayam yang dimasak tawaoloho, atau campuran keduanya sesuai selera
diambil secukupnya dipiring kemudian ditambahkan perasan jeruk purut (bahasa
lokal: jeruk Tolaki), lalu Sinonggi atau sagu yang telah kental tadi diambil
dengan cara digulung memakai posonggi (sumpit) dimasukkan kedalam kuah tadi
kemudian dicampur dengan sayur dan lauk ikan, daging/ayam serta tentu tidak
ketinggalan sambal terasi plus mangga mudanya.
Kandungan Serta Manfaat Sinonggi
Sinonggi juga memiliki kandungan yang sangat
bermanfaat bagi kesehatan.Sinonggi termasuk makanan yang menyegarkan dan sehat.
Selain sayuran dan lauknya dimasak dengan bumbu yang tidak terlalu banyak
(masak bening), menurut penelitian litbang deptan Sagu sebagai bahan baku utama
dikenal memiliki kandungan karbohidrat sekitar 85,6%, serat 5% dan untuk 100 gr
sagu kering setara dengan 355 kalori. Selain mengandung karbohidrat juga
mengandung polimer alami yaitu semacam zat yang sangat bermanfaat bagi tubuh
manusia seperti memperlambat peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga
aman dikonsumsi oleh penderita diabetes melitus. Selain itu, serat pada sagu
juga mengandung zat yang berfungsi sebagai probiotik, meningkatkan kekebalan
tubuh, serta mengurangi resiko terkena kanker usus dan paru-paru.
Masonggi lebih enak jika disajikan dengan
pelengkap makanan seperti ikan, sayur bening, sayur santan atau makanan pilihan
lainnya. Tergantung selera. Biasanya lebih terasa nikmatnya jika disajikan
bareng-bareng teman, keluarga bhkan sinonggi menjadi menu wajib ibu-ibu
arisan.Sinonggi, makanan khas suku Tolaki ini tidak hanya khusus suku Tolaki,
tapi juga sudah banyak digemari oleh masyarakat lain yang ada di Sulawesi
Tenggara, baik anak-anak, remaja dan orang dewasa. Bahkan kini sudah menjadi
pengganti makan siang beberapa warga kota Kendari.
Saat ini, Sinonggi telah masuk ke hotel-hotel sebagai
menu khas Sulawesi Tenggara sebagai salah satu menu dalam perjamuan tamu-tamu
pemerintah setempat. Di Kota Kendari, kini warung atau restoran yang menyajikan
makanan khas suku tolaki ini sudah banyak, dan bahan bakunya tersedia di pasar
tradisional.
Sinonggi adalah makanan pokok Suku Tolaki
yang terbuat dari pati sari sagu. Di Sulawesi Selatan, masakan yang serupa
dikenal dengan nama kapurung dan di Kepulauan Maluku disebut papeda. Meski
masakan-masakan tersebut memiliki kemiripan bahan, cara penyajiannya berbeda.
Untuk sinonggi, tepung sagu yang sudah dimasak tidak dicampurkan dengan sayur,
kuah ikan, sambal ("dabu-dabu"), atau bumbu lainnya, namun tergantung
selera masing-masing. Bagi suku Tolaki, sinonggi dahulu merupakan makanan
pokok, namun saat ini telah menjadi makanan sekunder pengganti beras pada masa
paceklik.
Sejarah Sinonggi
Walaupun merupakan makanan khas Suku Tolaki,
belum ada yang mengetahui sejak kapan Suku Tolaki mengonsumsi sinonggi. Namun,
makanan ini sudah ada sejak ratusan tahun silam layaknya beras. Mitos Tolaki
menyebutkan bahwa pohon sagu bahan baku Sinonggi tumbuh dengan sendirinya di
perkampungan Kuko Hulu di Sungai Konaweha, yang kini bernama Latoma Tua. Dalam
bahasa Tolaki, ia disebut "sowurere", yang artinya "suatu kampung
yang ditumbuhi ribuan pohon sagu". Lokasinya persis di dekat Tongauna,
Kecamatan Ulu Iwoi, Kabupaten Kolaka. Versi lain menyebutkan bahwa pohon sagu
yang tumbuh di rawa-rawa tersebut, sebetulnya berasal dari Maluku.
Nama sinonggi diyakini budayawan lokal
berasal dari kata posonggi.Posonggi atau o songgi (bahasa Tolaki) merupakan
alat mirip sumpit terbuat dari bambu yang dihaluskan dengan ukuran panjang
kurang dari sepuluh sentimeter. Alat inilah yang digunakan untuk mengambil
sinonggi dari tempat penyajian. Dengan cara digulung, sinonggi diletakkan ke
piring yang telah diisi kuah sayur dan ikan serta bumbu lainnya. Gulungan
sinonggi di piring kemudian dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam mulut
menggunakan alat serupa yang berukuran lebih kecil atau dengan jari. Sinonggi
biasanya tidak dikunyah, tetapi ditelan langsung.
Dahulu orang tua menyimpan sinonggi dalam
dulang yang terbuat dari kayu. Dulang dalam bahasa Tolaki adalah
"odula". Seiring perubahan zaman, sinonggi mulai tidak disimpan dalam
dulang kayu melainkan dalam baskom. Perubahan ini diyakini penikmat sinonggi
telah mengurangi kelegitan rasanya yang khas. Begitu pula dengan penggunaan
posonggi yang menghilang, saat ini orang lebih banyak langsung menggunakan
tangan atau memakai sendok untuk mengkonsumsi sinonggi. (wikipedia)
Cara Penyajian
Sebelum dimasak, pati sagu direndam di dalam
baskom, atau sejenisnya, dengan menggunakan air dingin selama satu malam.
Biarkan hingga mengendap. Kemudian air dibuang. Ketika akan diolah menjadi
makanan, sagu dicairkan dengan air dingin secukupnya. Lalu, siramkan air panas
(sampai mendidih) sedikit demi sedikit sambil sagu diaduk-aduk hingga
mengental. Orang bilang, ia menyerupai lem.
Sebaiknya, sebelum sagu diolah menjadi
makanan siap saji, sayur, kuah ikan, serta sambal sudah disiapkan. Jadi bisa
langsung dimakan pada saat sinonggi masih panas. Sayur dan sambal juga akan
lebih nikmat jika ditambah dengan daun kemangi dan jeruk purut. Di Kendari, jeruk
purut dikenal dengan nama jeruk Tolaki.
Cara Makan
Cara makan Sinonggi ini adalah pertama-tama
air kuah, bisa air kuah sayur yang sudah terpisah tadi atau bisa juga air kuah
ikan atau daging/ayam yang dimasak tawaoloho, atau campuran keduanya sesuai selera
diambil secukupnya dipiring kemudian ditambahkan perasan jeruk purut (bahasa
lokal: jeruk Tolaki), lalu Sinonggi atau sagu yang telah kental tadi diambil
dengan cara digulung memakai posonggi (sumpit) dimasukkan kedalam kuah tadi
kemudian dicampur dengan sayur dan lauk ikan, daging/ayam serta tentu tidak
ketinggalan sambal terasi plus mangga mudanya.
Kandungan Serta Manfaat Sinonggi
Sinonggi juga memiliki kandungan yang sangat
bermanfaat bagi kesehatan.Sinonggi termasuk makanan yang menyegarkan dan sehat.
Selain sayuran dan lauknya dimasak dengan bumbu yang tidak terlalu banyak
(masak bening), menurut penelitian litbang deptan Sagu sebagai bahan baku utama
dikenal memiliki kandungan karbohidrat sekitar 85,6%, serat 5% dan untuk 100 gr
sagu kering setara dengan 355 kalori. Selain mengandung karbohidrat juga
mengandung polimer alami yaitu semacam zat yang sangat bermanfaat bagi tubuh
manusia seperti memperlambat peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga
aman dikonsumsi oleh penderita diabetes melitus. Selain itu, serat pada sagu
juga mengandung zat yang berfungsi sebagai probiotik, meningkatkan kekebalan
tubuh, serta mengurangi resiko terkena kanker usus dan paru-paru.
Masonggi lebih enak jika disajikan dengan
pelengkap makanan seperti ikan, sayur bening, sayur santan atau makanan pilihan
lainnya. Tergantung selera. Biasanya lebih terasa nikmatnya jika disajikan
bareng-bareng teman, keluarga bhkan sinonggi menjadi menu wajib ibu-ibu arisan.
Sinonggi, makanan khas suku Tolaki ini tidak hanya khusus
suku Tolaki, tapi juga sudah banyak digemari oleh masyarakat lain yang ada di
Sulawesi Tenggara, baik anak-anak, remaja dan orang dewasa. Bahkan kini sudah
menjadi pengganti makan siang beberapa warga kota Kendari.
Saat ini, Sinonggi telah masuk ke hotel-hotel sebagai
menu khas Sulawesi Tenggara sebagai salah satu menu dalam perjamuan tamu-tamu
pemerintah setempat. Di Kota Kendari, kini warung atau restoran yang menyajikan
makanan khas suku tolaki ini sudah banyak, dan bahan bakunya tersedia di pasar
tradisional.
BAB IV
PENUTUP
Demikianlah
yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam makalah
ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan
kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh hubungannya dengan makalah
ini Penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman memberikan kritik
saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi penulis para pembaca khusus pada penulis. Aamiin
DAFTAR
PUSTAKA
Diakses
dari http://www.galerinajwaa.com/2014/06/contoh-makalah-keberagaman-budaya-sma.html, pada 14 maret 2015, pukul 19.05 WIB
Diakses
dari https://ewinkkreasi72.wordpress.com/2014/01/31/modul-ips-kelas-xi-smk-semester-2/, pada 16 maret 2015, pukul 11.20 WIB
Diakses
dari http://www.slideshare.net/ayfilfilkhiyami/bab-5-kebudayaan-buat-yang-jurusannya-ips-kelas-11-ini-materi-baru-semester-2-kan-semoga-membantu, pada 17 maret 2015, pukul 19.55
Characteristic
of Culture,
diakses dari http://anthro.palomar.edu/culture/culture_2.htm, tanggal 19 maret, 2015, pukul 10.45 WIB
Diakses
dari http://www.slideshare.net/arismacahyani78/materi-ppt-kebudayaan, pada 21 maret 2015, pukul 18.55